Cerita tentang seorang guru nakal yang menginginkan kepuasan seks dengan cara bersetubuh dengan guru wanita yang seksi di sekolahnya dan dia menjaminkan atau mengiming-imingi sesuatu untuk imbalan sebagai pemuas seksnya. Alhasil dia berhasil menyetubuhi seorang guru yang bernama Bu Nisa.

Suatu hari di suatu sekolah menengah atas tepatnya di ruang kepala sekolah tampak seorang pria berumur 45 tahun sedang merenung, entah apa yang sedang dia pikirkan. Wajahnya tampak gelisah, dengan raut muka serius duduk di belakang meja kerjanya yang nyaman. Namanya Pak Risman Kusbiantoro, berkulit sawo matang berperawakan tinggi dengan perut yang agak buncit. Sudah dua tahun Pak Risman menjadi kepala sekolah di SMA tersebut. Namun entah mengapa baru hari ini dia mulai berpikir mesum. “Mungkin ini gara-gara film porno yang aku tonton tadi malam”,begitulah pikirnya. Sejak pagi tadi Pak Risman tidak hentinya berpikiran jorok ketika bertemu dengan para guru-guru perempuan di sekolah tersebut. “Aku rasanya ingin sekali mencicipi tubuh-tubuh sexy mereka”. Kata-kata itu selalu muncul ketika Pak Risman bertemu dengan para guru perempuan di sekolah itu yang rata-rata masih muda. Hingga suatu saat dia mulai tersenyum, terbersit dalam pikirannya bagaimana cara untuk bisa menikmati para guru tersebut. Dia mulai berpikir jika kekuasaan yang dia miliki di sekolah itu bisa dia jadikan senjata untuk mengajak para guru wanita di sekolah tersebut naik ranjang.
Cerita Seks Tentang Pemerkosaan Ibu Guru

Jam istirahat sekolah telah tiba dengan ditandai bunyi nyaring bell tanda istirahat. Murid-murid berhamburan menuju kantin sekolah, begitupun para guru mulai berkumpul di ruangan kantor guru. Begitupun tak ketinggalan dengan Bu Nisa, seorang guru honorer mata pelajaran bahasa inggris di sekolah itu, berusia 28 tahun, berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dengan jilbab yang selalu melindungi kepalanya, tak ketinggalan kacamata yang menambah anggun wajahnya.

Hari itu Bu Nisa tengah berbincang dengan sesama rekannya di kantor guru. Ada Pak Hamdan dari bagian kurikulum dan juga Bu Astri yang mengajar mata pelajaran matematika. Ketika sedang asik berbincang-bincang datanglah Mang Yono yang merupakan penjaga sekolah di sekolah tersebut. “Maaf ganggu nih, Bu Nisa dipanggil sama Pak Risman katanya bu” Mang yono langsung memotong pembicaraan mereka. “Wah ada apa ya mang? Tumben nih Pak Risman panggil saya” sahut Bu Nisa dengan senyuman manisnya. “Waduh bu,saya juga kurang tau” jawab Mang Yono sambil garuk-garuk kepala cengengesan namun matanya tanpa disadari guru-guru yang ada disitu tengah melirik gumpalan payudara Bu Nisa yang walaupun tertutup baju seragam mengajarnya tetap terlihat membusung menggemaskan. “Hmmm…baik Mang saya sebentar lagi kesana” sahut Bu Nisa sambil kemudian berpamitan kepada Bu Astri dan Pak Hamdan. “Tok…tok…tok..” Pintu ruangan kepala sekolah itu diketuk dari luar, sesaat kemudian masuklah seorang wanita cantik berseragam abu-abu has pengajar dan berkerudung putih dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. “Oh…Bu Nisa, mari silakan duduk bu” suara berat menyambutnya. “Bapak panggil saya ada keperluan apa ya?” sahut Bu Nisa sambil duduk didepan meja kepala sekolah tersebut. “Eh anu bu ada hal penting yang harus saya sampaikan sama ibu dan rekan-rekan lainnya, nanti akan saya panggil satu persatu” kata Pak Risman dengan nada bicara dibuat seberwibawa mungkin. “Oh…hal penting apa pak?” Bu Nisa tampak penasaran.

Pak Risman mulai menjelaskan tentang hal yang harus dia sampaikan kepada para guru khususnya para guru honorer di sekolah tersebut. Menurutnya pihak yayasan sudah memberikan keputusan jika di sekolah tersebut harus mulai berhemat dalam segi pengeluaran, yang berimbas terhadap pengurangan staff pengajar. “Jadi artinya saya diberhentikan pa”? Bu Nisa mulai bertanya. “Bisa ya bisa juga tidak” jawab Pak Risman tenang. “Jadi bagaimana Pa?” Bu Nisa mulai penasaran. “Saya akan menyeleksi para guru disini bu, karena saya diberi wewenang dalam mengambil keputusan itu” jawab Pak Risman dengan jumawa.

Lalu Pak Risman mulai menjelaskan secara mendetail tahapan-tahapan seleksi tersebut, bagaimana cara penilainnya dan sebagainya. Bu Nisa tampak serius mendengarkan penjelasan dari Pak Risman, hingga suatu saat bu Nisa mulai penasaran dengan apa yang dikatan kepala sekolah tersebut. “Tapi jika ibu tak keberatan saya punya cara lain agar ibu bisa lolos seleksi dan tetap mengajar di sekolah ini” itulah kata-kata terakhir dari penjelasan pak Risman yang panjang lebar. Dengan penasaran dan wajah bersinar bu Nisa pun bertanya, “apa itu pa?”. “Ibu harus mau tidur dengan saya” jawab pak Risman dengan tenang dan senyum menjijikan.

Bagai petir di siang bolong bu Nisa mendengar kata-kata itu, ia tak menyangka jika orang yang selama ini ia anggap sangat terhormat bisa berkata semenjijikan itu. “Jangan harap itu terjadi Risman” ucap guru bahasa inggris tersebut dengan nada tinggi dan amarah yang menggebu. “Ternyata kau sangat menjijikan” lanjutnya.
Namun amarah bu Nisa ditanggapi dengan sangat tenang oleh pak Risman, ia telah mengantisipasi jika hal itu akan terjadi. “Hmmm…baik kalau itu mau bu Nisa, saya tidak apa-apa jika ibu menolak” ungkapnya dengan tenang. Lalu sambil beranjak dari tempat duduknya dia memaparkan semua kemungkinan yang akan terjadi jika ajakannya itu mendapat penolakan. “Saya tidak apa-apa bu, silahkan ibu mengikuti seleksi akan tetapi saya pastikan kalau ibu akan jadi orang pertama yang saya nyatakan gagal” ungkapnya dengan senyum memuakan. “Silahkan ibu pikirkan kembali”.

Bu Nisa tampak merenung, pikirannya kacau balau. Ia mulai memikirkan masa depannya, bagaimana keluarganya, anak semata wayangnya yang baru berusia empat tahun, dan suaminya yang saat ini tengah menganggur akibat terkena PHK dari tempatnya bekerja. “Siapa yang akan menafkahi keluargaku?” Pikirnya. Pikiran bu Nisa seketika buyar ketika mendengar bel tanda masuk berbunyi. Tanpa ia sadari sudah 1 jam ia berada diruangan kepala sekolah mesum ini. “Bagaimana bu Nisa? Mau terima tawaran saya atau anda akan mengikuti seleksi yang sia-sia itu?” Tanya pak Risman dengan senyum yang menjijikan. “Silahkan ibu kembali mengajar, saya tunggu sepulang sekolah disini ya bu” ujarnya dengan masih mengembangkan senyum khasnya.

Dengan tak berkata apapun bu Nisa meninggalkan ruangan kepala sekolah tersebut, langkahnya lemah tak bergairah. Beberapa murid dan sesama guru yang menyapanya ia jawab seadanya dan dengan senyum yang dipaksakan. Sampai pada suatu ketika ia berpapasan dengan bu Linda, seorang guru honorer mata pelajaran bahasa indonesia yang juga seorang janda muda belum mempunyai anak yang dikenal banyak orang sebagai wanita yang gampang diajak naik ranjang. Dalam pikiran bu Nisa terbersit jika bu Linda ini bisa jadi orang yang lolos seleksi kepala sekolah mesum itu. Lalu mulai timbul rasa iri di hati bu Nisa. “Inilah dia sainganku” bekitulah kira-kira pikirnya. “Eh bu Nisa, katanya tadi pak Risman manggil ibu? Ada apa ya? Terus katanya semua guru juga akan dipanggil menghadap, ada apa bu?” Tanya bu Linda nyerocos. Lalu bu Nisa pun menceritakan hal yang dibicarakan bapak kepala sekolah itu tadi akan tetapi iya tidak menceritakan semuanya apalagi tentang ajakan jalan pintas pak Risman terhadap dirinya. “Wah…bu Nisa bisa jadi sainganku nih” ucap bu Linda jujur. “Ah bu Linda saya pamit dulu, anak-anak sudah nunggu pelajaran saya di kelas” jawab bu Nisa tak menanggapi ucapan bu Linda sambil beranjak menuju ke kelasnya.
Waktu tak terasa berlalu, bel tanda jam pelajaran terakhirpun sudah berbunyi. Para murid berhamburan meninggalkan sekolah tersebut, begitupula para guru. Di ruang guru hanya tersisa beberapa orang guru saja yang sekarang tengah bersiap pulang tak terkecuali bu Nisa. “Bu Nisa yuk pulang bareng, kebetulan suami saya jemput bawa mobil” ajak bu indah seorang guru cantik yang baru saja menikah. “Oh..engga..eh silahkan bu duluan saya masih ada kerjaan ngoreksi hasil ulangan anak-anak” jawab bu Nisa tergagap karena pikirannya sedang menerawang. “Kalau gitu saya duluan ya bu” ungkap bu Indah yang dibalas dengan anggukan dan senyum manis bu Nisa.Bu Nisa mengambil ponselnya dan memberi tahu suaminya di rumah jika ia kemungkinan pulang agak sore dikarenakan ada rapat dengan staff guru di sekolah, dan tentu saja itu berbohong.

Bu Nisa keluar dari ruang guru, namun ia berbelok ke ruang kepala sekolah setelah melihat-lihat kanan kiri dan memastikan tidak ada yang melihatnya ia mulai mengetuk pintu ruang kepala sekolah tersebut. “Masuk bu Nisa” suara dari dalam menjawab ketukan dipintu ruangan tersebut seakan-akan yang didalam tahu kalau yang datang itu dirinya. “Hmmm…bu Nisa,mari bu sini dan kunci pintunya” ucap pak Risman yang melihat bu Nisa masuk ruangannya. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya bu Nisa menurut mengunci pintu dan menghampiri pak Risman yang tengah duduk di sofa ruangan kepala sekolah tersebut sambil menikmati sebatang rokok. Hatinya menjerit lirih, hari ini ia akan menghianati suaminya dan menyerahkan kehormatannya. “Maafkan mamah pah” begitulah kata hatinya ketika mengingat suaminya. “Oh bukan disitu bu duduknya,tapi disini” ungkap pak Risman sambil menepuk-nepuk pahanya ketika melihat bu Nisa hendak duduk di sofa. Dengan gontai bu Nisa melangkah mendekati pa Risman dan mendaratkan pantatnya yang semok itu menyamping dipangkuan pak Risman. “Sudah lama saya menginginkan ini bu Nisa, ibu terlihat sangat sexy dan menggairahkan” ucap kepala sekolah tersebut sambil merangkulkan tangan kirinya di pinggang bu Nisa dan mengelus bongkahan pantatnya yang semok. Tak ketinggalan tangan kanannya mengelus pipi bu Nisa dan mengusap air matanya lalu berakhir di daun telinga yang tertutup kerudung putih. “Tak usah menangis bu, nikmati saja” ucap pak Risman sambil kembali mengusap air mata bu Nisa. Dengan suara bergetar bu Nisa akhirnya angkat bicara “sudahlah pak jangan merayu, kita mulai saja agar semuanya cepat selesai dan bapa puas”.
Pak Risman menyeringai penuh kemenangan, lalu dengan tangan kirinya dia mendorong kepala bu Nisa yang memakai jilbab tersebut ke arahnya dan mulai mencium bibir ranum dan tipis bu Nisa. Tangannya mulai menjamah semua bagian tubuh bu Nisa. Tanpa disadari bu Nisa gairahnya mulai merangkak naik seiring dengan usapan dan jamahan tangan pak Risman ditubuhnya.
Ciuman mulai berubah menjadi pagutan. Air mata bu Nisa mereda, sekarang ia mulai melayani pagutan-pagutan ganas pak Risman. Bunyi kecipak air liur mulai terdengar bahkan sayup-sayup mulai terdengar desahan bu Nisa ketika pak Risman meremas payudarnya dengan kasar dari balik seragam. “Ohhhh..ahhh…yaaahhh” desahan bu Nisa mulai keluar. Rupanya pak Risman sangat piawai memancing gairah perempuan, terlihat dari gerakan bu Nisa yang tadi tampak terpaksa justru sekarang berbalik menjadi memaksa pak Risman untuk bercumbu dengannya.
Tanpa sadar jari-jari lentik bu Nisa mulai mempereteli kancing baju pak Risman. Ia sangat bergairah dan ingin segera mengeluarkan hasrat yang paling liar dari dalam dirinya yang selama ini dikenal sebagai sosok pengajar yang alim. Air liur keduanya bercampur bahkan tampak meleleh di dagu keduanya. “Oh bu Nisa…kau sangat bergairah sekali” ucap pak Risman disela-sela pagutannya. “Jangan banyak omong pak, mari kita selesaikan” jawab bu Nisa beringas.

Pergumulan itu berlanjut. Pak Risman kini sudah bertelanjang dada. Perut buncit dan dadanya yang berbulu itu kini sedang dijilati bu Nisa dengan buas. Tak ketinggalan tangan kanan pak Risman kini tengah memainkan vagina bu Nisa dari balik celana panjang abu-abu yang senada dengan bajunya. Tangan bu Nisa tanpa sadar mempereteli kancing bajunya sendiri dan membukanya, tak ketinggalan juga ia membuka BH-nya. Seakan mimpi pak Risman memelototi payudara ranum berputing coklat indah yang meloncat dihadapannya. Bu Nisa melepaskan pagutannya, lalu kedua tangannya meraih kedua payudara ranum itu dan meremasnya, pandangan sayu dan senyum menggoda mengembang, dengan kerlingan mata binal ia melirik pak Risman dan dengan desahan lirih ia mulai berkata menggoda “ko diliatin terus pak? Inikan jalan pintas buat saya agar tidak bapak pecat? Ayo nikmati pak Risman yang terhormat” seru bu Nisa sambil tidak hentinya meremas payudara ranumnya.
Dengan tangan bergetar pak Risman menggerakan tangannya menggapai payudara bu Nisa yang tadinya sangat terpaksa justru sekarang tampak binal. Ia seperti merasa ini mimpi. Awalnya ia berpikir kalau bu Nisa akan susah untuk ditaklukan. 
Kini pak Risman tengah asik menyusu di payudara bu Nisa yang sedang mendesah seperti orang kepedesan menikmati lumatan dan sedotan mulut pak Risman dipayudaranya. 

Keduanya mulai tak sabar. Pak Risman menurunkan bu Nisa dari pangkuannya dan dengan terburu menelanjangi dirinya sendiri. Begitupun bu Nisa yang membuka celana panjang dan CD hitamnya dengan gaya yang menggoda sambil duduk diatas sofa ruangan kepala sekolah tersebut yang walaupun ber-AC tapi kini malah terasa sangat panas bagi mereka berdua.
Bu Nisa tampak kaget sekaligus kagum ketika pak Risman sang kepala sekolah mesum berdiri dihadapannya sambil mengocok pelan kemaluannya. “Hmmm…ah besar sekali pak” ucap bu Nisa sambil menggerakan tangannya menggapai kemaluan pak Risman lalu mengocoknya dengan lembut. Dalam pikiran bu Nisa ia sangat mengagumi kemaluan kepala sekolahnya yang besar dan panjang, bahkan telapak tangannya pun tak mampu untuk menggenggamnya, “ini sangat berbeda dengan kontol suamiku, ini sangan panjang, besar, hitam dan berotot. Yah…inilah kontol yang selama ini aku inginkan mengobok-obok memekku” itulah pikir bu Nisa. “Bu Nisa,maukah ibu nyepong kontol saya?” Pertanyaan pak Risman mengagetkan lamunan bu Nisa lalu ia mengangguk dan tersenyum menggoda. Bu Nisa menyuruh pak Risman duduk di sofa dan menaikan kakinya mengangkang. Lalu ia turun dan berlutut didepan pak Risman yang tengah mengangkang di atas sofa. Bu Nisa mulai memperlihatkan kehebatannya memuaskan kaum pria. Ia jilat semua bagian kemaluan pak Risman mualai dari biji pelir hingga ujungnya dan diakhiri dengan kuluman dan sedotan yang dahsyat.
Beberapa menit berselang pak Risman menyudahi bu Nisa yang tengah asik melumat kemaluannya. Ia suruh bu Nisa naik ke atas sofa dengan kepala dan tangan ada di sandaran sofa tersebut dan tubuh menungging menunjukan lubang kemaluan yang berbulu tipis dan lubang anus yang coklat mengerucut menggoda menawarkan berjuta kenikmatan. Tanpa disangka wajah berjilbab itu menoleh dan tersenyum ke arah pak Risman yang tengah mengagumi semoknya tubuh telanjang guru bahasa inggris ini. “Pak, ko saya jadi kaya pelacur?” Ucap bu Nisa dengan senyum dan desah menggoda. “Kamu memang pelacur bu Nisa. Pelacur buat saya” ungkap pak Risman sambil membenamkan wajahnya di pantat semok bu Nisa. Dengan buas pak Risman menjilati dan menyedot lubang vagina bu Nisa, bahkan sesekali ia juga menjilat lubang anus bu Nisa. Diperlakukan seperti itu bu Nisa sangat senang hatinya malah berbunga dikatakan sebagai pelacur, bahkan ketika jari telunjuk tangan kanan pak Risman menerobos lubang anusnya sambil menyedot lubang vaginanya ia malah mendapatkan orgasme yang hebat sehingga air kenikmatannya menyembur membasahi wajah kepala sekolah tersebut. “Ahhhh…ahhh…nikmat sekali pak..hmmm…” Desah bu Nisa ketika orgasmenya tiba.

Dengan lemas bu Nisa membalikan badannya dan duduk menyender di sofa, begitupun dengan pak Risman. Mereka duduk berpelukan mengistirahatkan sejenak tubuh mereka. Sambil istirahat tak henti-hentinya bu Nisa mengelap wajah pak Risman yang semakin jelek karena terkena semburan air kenikmatan miliknya, dan sesekali menciumi laki-laki mesum tersebut. “Wah kayanya bu Nisa berbakat jadi pelacur,gimana kalau saya jadi germonya” terang pak Risman dengan cengengesan. Tapi bukannya marah dengan perkataan tersebut bu Nisa malah menanggapinya dengan santai dan nampak senang. “Aaa..bapak”,” tapi kalau saya jadi pelacur masih boleh kan saya ngajar disekolah ini pak, siapa tau sambil ngajar saya bisa sambil melacur buat murid,guru dan staff di sekolah ini…kan lumayan”. “Waduh bu Nisa ini jadi seneng ya kalau banyak yang ngentot” tanya lagi pak Risman sambil tangannya tak berhenti meremas payudara bu Nisa.”Sssst…udah ah pa, denger entot-entotan rame-rame saya jadi pengen ni” jawab bu Nisa dengan kerling menggoda.
Selang beberapa menit merekapun kembali berpagutan panas, dan tak lama kemudian pak Risman mengatur posisi bu Nisa diatas sofa. Ia kembali ditunggingkan. Sementara pak Risman telah siap dibelakang bu Nisa dengan kemaluan tegak mengacung didepan lubang vagina bu Nisa yang menungging menantang. “Bu saya tusuk sekarang ya” sambil berkata demikian pak Risman mendorong kemaluannya memasuki vagina legit bu Nisa.
Tampak bu Nisa memejamkan mata dan membuka mulutnya membentuk huruf O merasakan mili demi mili kontol panjang, hitam, besar,dan berurat milik pak Risman memasuki vaginanya. Setelah ujung kemaluan pak Risman terbenam semua didalam vagina bu Nisa, ia mendiamkannya sesaat untuk meresapi pijatan dan kehangatan vagina guru bahasa inggris tersebut. Setelah dirasa cukup, pak Risman mulai menggerakan pinggulnya secara perlahan.

Tiap detik berlalu penuh kenikmatan. Pak Risman terus meningkatkan tempo genjotannya di Vagina bu Nisa yang legit, hangat dan basah. Desahan mulai terus terdengar di ruangan tersebut. Bu Nisa mengimbangi kebrutalan genjotan pak Risman dengan goyangan pinggulnya. Selang 5 menit mereka berganti gaya. Kini gantian bu Nisa berada diatas, dia memamerkan goyangan erotisnya dalam memuaskan pak Risman. Sambil meremasi payudaranya ia bergoyang dan selang beberapa menit bu Nisa mendapatkan orgasmenya kembali diatas tubuh pak Risman. Kali ini pak Risman tidak mau memberi bu Nisa kesempatan beristirahat, ia membalikan posisinya dan langsung menghajar vagina bu Nisa dengan kemaluan besarnya. “Aaaahhh…ohhh…ampun..yah..enak…oh” desahan bu Nisa mulai tak terkendali,orgasme-orgasme susulan datang bertubi-tubi hingga akhirnya pak Risman menggeram sambil memuntahkan lahar kenikmatannya didalam tubuh ibu guru bahasa inggris tersebut, tubuh buncitnya ambruk menindih bu Nisa. Hingga selang beberapa menit ia mencabut kemaluannya tersebut dan berjalan memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai ruang kepala sekolah tersebut.
Setelah keduanya beristirahat sejenak dan berpakaian tak ada satupun yang berbicara hingga bu Nisa mulai mengeluarkan suara yang terdengar bergetar. “Bagaimana, apa bapak puas? Apa saya berhasil melewati seleksi ini pak”. Pak Risman terkekeh menjijikan, lalu memeluk bu Nisa dan berbisik, “saya sangat puas bu, tapi ibu masih punya lubang satu lagi yang belum saya coba”. “Sekarang kita pulang bu, suami bu Nisa sudah nunggu pastinya di rumah, mungkin besok atau lusa saya cicipi lagi ya”.
Perasaan kesal mulai timbul kembali di hati bu Nisa, ia merasa dipermainkan oleh pak Risman. Akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing dengan membawa perasaan berbeda dikedua hati mereka. Namun tanpa mereka sadari setelah mereka beranjak dari ruangan itu nampak seseorang cengengesan sambil menonton video dalam ponselnya hasil rekamannya sendiri.
Sejak aku divonis dokter kandungan, tak boleh memiliki anak lagi, hatiku sangat sedih. Rupanya, Tuhan hanya menitipkan seoang anak saja yang kulahirkan. Rahimku, hanya boleh melahirkan seorang anak di rahimku.

Setelah aku sehat dan kembali dari rumah sakit membawa bayiku, dan bayiku berusia 1 tahun, dengan lembut suamiku meminta izin untuk menikah lagi. Alasannya, baginya hanya seorang anak tak mungkin. Dia harus memiliki anak yang lain, laki-laki dan perempuan. Dengan sedih, aku “terpaksa” merelakan suamiku untuk menikah lagi.

Sejak pernikahannya, dia jarang pulang ke rumah. Paling sekali dalam seminggu. Kini setelah usia anakku 15 tahun, suamiku justru tak pernh pulang ke rumah lagi. Dia telah memiliki 4 orang anak, tepatnya dua pasang dari isteri mudanya dan dua anak lagi dari isterinya yang ketiga.

Aku harus puas, memiliki tiga buah toko yang serahkan atas namaku serta sebuah mobil dan sebuah taksi selain sedikit deposito yang terus kutabung unutk biaya kuliah anakku Irvan nanti. Irvan sendiri sudah tak perduli pada ayahnya.

Malah, kalau ayahnya pulang, kelihatan Irvan tak bersahabat dengannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Semoga saja Irvan tidak berdosa pada ayahnya. Setiap malam Aku selalu mengeloni Irvan agar tubuhku tak kedinginan disiram oleh suasana dingin AC 2 PK di kamar tidurku. Irvan juga kalau kedinginan, justru merapatkan tubuhnya ke tubuhku.

Irvan memang anak yang manja dan aku menyenanginya. Sudah menjadi kebiasaanku, kalau aku tidur hanya memakai daster mini tanpa sehelai kain pun di balik daster miniku. Aku menikmati tidurku dengan udara dinginnya AC dan timpa selmut tebal yang lebar.

NIkmat sekali rasanya tidur memeluk anak semata wayangku, Irvan. Kusalurkan belai kasih sayangku padany. Hanya padanya yang aku sayangi. Sudah beberapa kali aku merasakan, toket gede ku diisap-isap oleh Irvan.

Aku mengelus-elus kepala Irvan dengan kelembutan dan kasih sayang. Tapi kali ini, tidak seperti biasanya. Hisapan pada pentil tetek ku, terasa demikian indahnya. Terlebih sebelah tangan Irvan mengelus-elus bulu jembut vagina ku. Oh… indah sekali. Aku membiarkannya. Toh dia anakku juga.

Biarlah, agar tidurnya membuahkan mimpi yang indah. Saat aku mencabut pentil toket ku dari mulut Irvan, dia mendesah. “Mamaaaaa…” Kuganti memasukkan pentil tetekku yang lain ke dalam mulutnya. Selalu begitu, sampai akhirnya mulutnya terlepas dari tetekku dan aku menyelimutinya dan kami tertidur pulas.

Malam ini, aku justru sangat bernafsu. Aku ingin dientot. Ah… Mampukah Irvan menyetubuhiku. Usianya baru 18tahun. Mampukah. Pertanyaan itu selalu bergulat dalam bathinku. Keesokan paginya, saat Irvan pergi ke sekolah, aku membongkar lemari yang sudah lama tak kurapikan.
Di lemari pakaia Irvan di kamarnya (walaudia tak pernah meniduri kamarnya itu) aku melihat beberapa keping CD. Saat aku putar, ternyata semua nya film-film porno dengan berbagai posisi. Dadaku gemuruh. Apaah anakku sudah mengerti seks?.

Apakah dia sudah mencobanya dengan perempuan lain? Atau dengan pelacur kah? Haruskah aku menanyakan ini pada anakku? Apakah jiwanya tidak terganggu, kalau aku mempertanyakannya? Dalam aku berpikir, kusimpulkan, sebaiknya kubiarkan dulu dan aku akan menyelidikinya dengan sebaik mungkin dengan setertutup mungkin.

Seusai Irvan mengerjakan PR-nya (Diseekolah Irvan memang anak pintar), dia meniki tempat tidur dan memasuki selimutku. Dia cium pipi kiri dan pipi kananku sembari membisikkan: Selamat malam… mama…” Biasanya aku menjawabnya dengan:”Selamat malam sayang…”.

Tapi kalau aku sudah tertidur, biasanya aku tak menjawabnya.Dadaku gemuruh, apaah malam ini aku mempertanyakan CD porno itu. Akhirnya aku membiarkan saja. Dan… Aku kembali merasakan buah dadaku dikeluarkan dari balik dasterku yang mini dan tipis.

Irvan mengisapnya perlahan-lahan. Ah… kembali aku bernafsu. Terlebih kembali sebelah tangannya mengelus-elus bulu jembut vaginaku. Sebuah jari-jarinya mulai mengelus klentitku. AKu merasakan kenikmatan jembut ku dielus.

Kali ini, aku yakin Irvan tidak tidur. Aku merasakan dari nafasnya yang memburu. Aku diam saja. Sampai jarinya memasuki lubang vaginaku dan mempermainkan jarinya di sana. Ingin rasanya aku mendesah, tapi…

Aku tahu, Irvan menurunkan celananya, sampai bagian bawah tubuhnya sudah bugil. Dengan sebelah kakinya, dia mengangkangkan kedua kakiku. Dan…. Irvan menaiki tubuhku dengan perlahan. Aku merasakan penisnya mengeras. Berkali-kali dia menusukkan penis itu ke dalam vaginaku.

Irvan ternyata tidak mengetahui, dimana lubang vagina. Brkali-kali gagal. Aku kasihan padanya, karena hampir saja dia putus asa. Tanpa sadar, aku mengangkangkan kedua kakiu lebih lebar. Saat penisnya menusuk bagian atas vaginaku, aku mengangkat pantatku dan perlahan penis itu memasuki ruang vaginaku.

Irvan menekannya. Vaginaku yang sudah basah, langsung menelan penisnya. Nampaknya Irvan belum mampu mengatasi keseimbangan dirinya. Dia langsung menggenjotku dan mengisapi tetekku. Lalu crooot…croot…croooootttt, sprmanya menyemprot di jembut vagina ku.

Tubuhnya mengejang dan melemas beberapa saat kemudian. Perlahan Irvan menuruni tubuhku. Aku belum sampai… tapi aku tak mungkin berbuat apa-apa. Besok malamnya, hal itu terjadi lagi. Terjadi lagi dan terjadi lagi. Setidaknya tiga kali dalam semingu. Irvan pun menjadi laki-laki yang dewasa.

Tak sedikit pun kami menyinggung kejadian malam-malam itu. Kami hanya berbicara tentang hal-hal lain saja. Sampai suatu sore, aku benar-benar bernafsu sekali. Ingin sekali disetubuhi. Saat berpapasan dengan Irvan aku mengelus penisnya dari luar celananya. Irvan membalas meremas pantatku.

Aku secepatnya ke kamar dan membuka semua pakaianku, lalu merebahkan dri di atas tempat di tutupi selimut. Aku berharap, Irvan memasuki kamar tidurku. Belum sempat usai aku berharap, Irvan sudah memasuki kamar tidurku. Di naik ke kamar tidurku dan menyingkap selimutku.

Melihat aku tertidur dengan telanjang bulat, Irvan langsung melepas semua pakaiannya. Sampai bugil. Bibirku dan tetekku sasaran utamanya. AKu mengelus-elus kepalanya dan tubuhnya. Sampai akhirnya aku menyeret tubuhnya menaiki tubuhku.

KUkangkangkan kedua kakiku dan menuntun penisnya menembus vaginaku. Nafsuku yang sudah memuncak, membuat kedua kakiku melingkar pada pinggangnya. Mulutnya masih rakus mengisapi dan menggigit kecil pentil tetekku.

Sampai akhirnya, kami sama-sama menikmatinya dan melepas kenikmatan kami bersama. Seusai itu, kami sama-sama minum susu panas dan bercerita tentang hal-hal lain, seakan apa yang baru kami lakukan, bukan sebuah peristiwa.

Malamnya, seusai Irvan mengerjakan PR-nya dia mendatangiku yang lagi baca majalah wanita di sofa. Tatapan matanya, kumengerti apa maunya. Walau sore tadi kami baru saja melakukannya. Kutuntun dia duduk di lantai menghadapku.

Setelah dia duduk,aku membuka dasterku dan mengarahkan wajahnya ke vaginaku. AKu berharap Irvan tau apa yang harus dia lakukan, setelah belajar dari CD pornonya. Benar saja, lidah Irvan sudah bermain di vaginaku. Aku terus membaca majalah, seperti tak terjadi apa-apa.

AKu merasa nikmatr sekali. Lidahnya terus menyedot-nyedot klentitku dan kedua tangannya mengelus-elus pinggangku. Sampa akhirnya aku menjepit kepalanya, karean aku akan orgasme. Irvan menghentikan jilatannya Dan aku melepaskan nikmatku.
Kemudia kedua kakiku kembali merenggang. AKu merasakan Irvan menjilati basahnya vaginaku. Setelah puas, Irvan bangkir. Aku turun ke lantai. Kini irvan yang membuka celananya dan menarik kepalaku agar mulutku merapat ke penisnya. Penis yang keras itu kujilati dengan diam.

Irvan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kepalaku ditangkapnya dan dileus-elusnya. Aku terus menjilatinya dan terus melahap penisnya, sampai spermanya memenuhi mulutku. Sampai akhirnya normal kembali dan kami duduk bersisian menyaksikan film lepas di TV.

Cerita sex - Seusai nonton film, aku mengajaknya untuk tidur, karena besok dia harus sekolah, dan aku harus memeriksa pembukuan toko. “yuk tidur sayang,” kataku.Irvan bangkit dan menggamit tanganku, lalu kami tertidur pulas sampai pagi

Tidak terasa sudah hampir setahun aku tinggal disana dan berolah tubuh dengan Hanny, tetangga kosku. Selama menjalin hubungan dengan Hanny, sempat kucicipi kehangatan tubuh beberapa wanita lain. Tentu saja tanpa sepengetahuan Hanny. Ada Titin yang karyawan pabrik garment di Cibinong, ada Ida sang Wanita Penjaga Showroom dan Wiwik, wanita bersuami yang menjadikan aku oase tempat pemuas dahaganya.

Rencana penelitian skripsiku sudah disetujui pembimbing dan seminggu lagi aku harus berangkat ke Banyuwangi selama dua bulan untuk melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat nelayan di sana. Akupun sudah memberitahu Hanny mengenai rencana keberangkatanku.

Aku sudah mulai "bosan" dengan Hanny. Dalam arti begini, setiap kali bertemu untuk bercinta rasanya sudah cukup sekali saja aku orgasme atau paling banyak dua kali. Terakhir kali bercinta seharian pada minggu lalu kubiarkan ia mengejang sampai empat kali, sementara aku hanya dua kali menembakkan amunisi senjata biologisku.

Tiga hari sebelum berangkat kami hanya sempat Quicky.. Quicky di atas sofa ruang tamunya. Ia sebenarnya menginginkan permainan yang panjang dan lama. Namun karena keadaan tidak memungkinkan, dia hanya bisa membekaliku dengan beberapa gigitan memerah di bahu dan dadaku.

Selama di lokasi penelitian aku sempat merasakan kehangatan tubuh wanita di sana. Dua kali pada saat menyeberang ke Bali untuk mendapatkan data pembanding, aku melakukannya dengan PSK. Namun klimaks yang kucapai terasa hambar. Hanya sekedar ejakulasi untuk menumpahkan mani yang sudah penuh. Namun secara emosional aku tidak terpuaskan.

Dua bulan berlalu dengan cepat..

Aku kembali di rumah menjelang tengah malam. Badanku terasa remuk semua setelah melintasi pulau Jawa dari ujung timur sampai hampir di ujung baratnya. Langsung aku tertidur sampai agak siang. Suara Hanny menyapu di pekarangannya tidak mampu membangunkanku. Aku bangun setelah matahari sepenggalah. Setelah mandi dan membereskan pakaian kotor, terasa perutku lapar sekali.

Hanny melambaikan tangannya ketika aku melintas di depan rumahnya.

"Anto!! Kapan kamu sampai!"
"Tadi malam Bu?" kataku agak kikuk setelah selama dua bulan tidak bertemu dia.

Juga kebetulan dari arah berlawanan ada tetangga yang juga lewat. Dia memandangiku dengan mata berbinar-binar.

"Kamu tambah hitam dan agak kurusan sedikit," katanya setelah mengamatiku sesaat.
"Yahh, selama dua bulan terus berjemur di panas matahari, makan juga teratur. Sehari dua kali, pagi dan sore karena siang masih di lapangan", kataku.

Diam sesaat.

"Ya sudah. Kamu istirahat dulu, nanti kukirim air jahe agar tenagamu cepat pulih. Lusa aku berangkat ke Ciamis, ada saudara yang mau menikah. Aku sudah bilang Pak Edi. Eka tidak ikut karena belum liburan. Karena kamu sudah tiba di sini, maka jadwal perjalananku berubah. Kita bisa merasakan asinnya air laut Pangandaran. Aku akan ngomong lagi sama Pak Edi sampai berapa hari berada di Ciamis".

Kupikir dalam beberapa hari ke depan aku tidak sibuk. Konsep laporan penelitianku sudah kusiapkan dari lapangan, rencananya akan kubaca lagi dan kuserahkan ke dosen pembimbing seminggu lagi. Huuhh!! Rekreasi tapi sekaligus kerja keras lagi.

Lusanya kami berangkat pada malam hari. Perjalanan ke Banjar tidak terasa lama, karena di sepanjang perjalanan tangan kami sibuk bekerja menyatakan keinginan dan kerinduan kami masing-masing. Dari Banjar kami melanjutkan perjalanan ke Pangandaran. Agak siang kami tiba di Pangandaran.

Kami masih merasakan lelah karena perjalanan tadi. Sampai di kamar sebuah hotel kami langsung mandi berdua dengan melakukan sentuhan dan kecupan ringan sebagai pemanasan. Kamar yang cukup indah, terletak di lantai dua dengan pandangan sea view di bagian selatan. Di bagian timur dan barat ada jendela kecil untuk memandang sunrise dan sunset. Bed cover warna biru laut menambah sejuk dan menciptakan suasana santai. Kami merencanakan untuk istirahat dulu dan nanti sore baru mulai menikmati indahnya Pangandaran.

Menjelang tengah hari kami bangun dan makan siang. Kami pilih restoran dengan menu sea food. Setelah melihat-lihat menu aku putuskan untuk memesan udang dan kerang sekalian sebagai aphrodisiac, makanan penambah tenaga seksual.

Setelah makan kami kembali lagi ke hotel dan duduk-duduk memandang ombak laut selatan yang berkejaran dan memecah di pantai. Beberapa lama kemudian matahari sudah mulai condong ke barat. Cuaca sedikit berawan sehingga panas mataharipun agak tereduksi, namun kuperkirakan tidak akan turun hujan. Kuajak Hanny untuk jalan dan berenang di Pananjung sambil menunggu sunset. Kubisikkan agar membawa pakaian ganti, namun sekarang ini tidak usah mengenakan pakaian dalam. Iapun mengerti kalau aku mengajaknya outward adventure di pantai.

Ia mengenakan baju lengan panjang yang agak tebal agar putingnya tidak membayang dari luar, aku mengenakan kaus lengan pendek. Kami sama-sama mengenakan celana pantai yang longgar. Pakaian ganti dan handuk kumasukkan ke dalam tas kecil dan kusandang di bahu.

Kamipun masuk ke Pananjung melalui gerbang Taman Wisatanya. Kami memilih jalan-jalan setapak yang jarang dilintasi orang. Bahkan kadang-kadang menerobos semak-semak. Kalau keadaan sekitarnya kelihatan aman dan sepi, maka kamipun dapat melakukan ciuman, rabaan dan remasan ringan. Ia sangat menikmati perjalanan pendek ke pantai Pananjung ini. Perjalanan yang normalnya paling lama ditempuh tigapuluh menit, kami lakukan dengan santai dan berbelok-belok sehingga setelah sejam lebih kami baru menginjakkan kaki di atas pasir.

Kami terus berjalan di pantai ke arah timur sampai agak jauh dan tidak ada orang lagi yang ada di sana. Kusergap dia dari belakang dan kubanting pelan ke atas pasir. Kuterkam dan kamipun bergulingan di atas pasir yang basah. Kami masih terus berpelukan, berciuman dan berguling-guling. Ketika ombak memecah di pantai, maka tubuh dan pakaian kamipun menjadi basah. Kami saling menatap dan tertawa bersama-sama dan kembali berpelukan lagi.

Kubopong tubuhnya dan kuceburkan di air. Ia berteriak-teriak lepas dan menarik tanganku sehingga akupun juga terjatuh di air. Ia makin tertawa senang dan menekan bahuku. Kami terus bermain air sambil berciuman dan mengusap tubuh pasangan kami. Bibir kami ikut basah oleh air laut yang asin, sehingga ketika berciuman juga terasa sedikit asin. Namun hal ini tidak mengurangi kenikmatannya, bahkan terasa lebih nikmat karena ada rasa yang baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan.

Ciuman dan remasanlu semakin lama semakin ganas. Iapun mengerti kalau nafsuku sudah mulai bangkit. Ia mengajakku ke luar dari air. Sambil tetap berciuman kami keluar dari air perlahan-lahan. Handuk besar dari dalam tas kami keluarkan dan kuhamparkan di atas rumput yang terlindung semak-semak agak jauh dari bibir pantai. Beberapa detik kemudian kamipun sudah saling melepas pakaian.

Kubaringkan ia di atas handuk dan segera kupeluk dan kucium. Ia mendesah dan menggesek-gesekkan pipinya pada pipiku. Bibirnya mengulum daun telingaku dan mendesah.

"Ohh.. Anto. Dua bulan lebih aku menunggu saat-saat seperti ini".
Kuciumi telinganya dan kubisikkan,"Hannyku, akan kutumpahkan kerinduanku dan memuaskan penantianmu..".
"Pasti penuh dan kental manimu. Selama dua bulan lebih tidak dikeluarkan. Sirami milikku dengan airmu," katanya.

Kepalaku kubenamkan ke dadanya dan beraksi mencium dadanya yang padat kemudian menggigit belahan dadanya dan menjilati putingnya. Masih ada sisa-sisa air laut.

Kejantananku mulai bereaksi ketika tangannya menyusup di antara pahaku. Pelan tapi pasti kejantananku mulai membesar sehingga terasa mulai mengganjal. Kunaikkan pantatku untuk mengurangi rasa tekanan kejantananku pada perutnya. Kemudian tangannya mengarahkan kejantananku sehingga kepalanya berada sedikit di bawah pusar.

Tangannya kebawah, kemudian meraba, mengusap serta memainkan kejantananku.

Kini kepalaku bergerak ke leher, dada, menjilt putingnya dengan jilatan ringan kemudian terus ke bawah sampai di selangkangannya. Aku mulai menjilati dan memainkan tonjolan daging kecil bi bagian depan area intimnya. Bibir area intimnya yang berwarna kemerahan kuusap dengan bagian dalam telunjukku. Kembali rasa asin menempel di lidahku, namun kemudian berubah menjadi rasa air yang segar agak lengket.

Ia terhentak dan mengejang sesaat ketika clitnya kujilat dan kujepit dengan kedua bibirku. Kulepas dan kujepit lagi. Ia merengek-rengek agar aku menhentikan aksiku dan segera melancarkan serangan terakhir, namun aku sendiri masih ingin menikmati dan melakukan foreplay yang lama. Beberapa saat aku masih dalam posisi itu. Tangan kirinya memegang kepalaku dan menekankannya ke celah pahanya. Tangan kanannya meremas-remas payudaranya.

Kepalaku kulepas dari selangkanganku dan kemudian mulutku bermain dengan puting payudaranya. Hanny kelihatannya tidak sabar lagi dan dengan sekali gerakan tangannya suda memegang kemudian mengocok kejantananku dan menggesekkannya pada bibir area intimnya. Tanganku mengusap gundukan payudaranya dan meremas dengan pelan dan hati-hati. Ia menggelinjang. Mulutku menyusuri leher dan bahunya kemudian mencari-cari bibirnya yang sudah setengah terbuka. Kejantananku yang sudah mengeras mulai mencari sasarannya.

Kuremas pantatnya yang padat dan kuangkat pantatku.

"Anto.. Kumohon.. Masukk.. Kan!"

Tangannya menarik kejantananku dan memasukkan ke dalam guanya yang sudah basah. Aku tidak melawan dan segera kutancapkan kejantananku dalam-dalam ke dalam liang area intimnya.

Hanny bergerak menentang arah gerakanku untuk menghasilkan kenikmatan yang semakin dalam. Aku bergerak semakin cepat dan mulai kurasakan aliran yang tidak terkendali di tubuhku. Aku ingin segera mengeluarkannya namun aku harus memuaskannya terlebih daulu. Aku menurunkan irama permainan. Kini ia yang bergerak-gerak liar. Gerakan demi gerakan, teriakan demi teriakan dan akhirnya Hanny sampai ke puncak sesaat kemudian setelah mengeluarkan teriakan keras dan panjang.

"Aachhkk.. Anto.. Ouhh".

Tubuhnya mengejang dan pantatnya naik. Untuk memaksimalkan kepuasannya maka kutekankan kejantananku ke dalam area intimnya. Ketika dinding area intimnya berdenyut, maka kubalas dengan gerakan otot Kegelku. Iapun kembali mengejang setiap kali otot Kegelku kugerakkan.

Sejenak kubiarkan ia beristirahat tanpa mencabut kejantananku. Kami saling mengusap tubuh satu sama lain. Aku merasakan ada beberapa pasang mata yang mengintip di balik semak-semak.

"Ada yang ngintip Han!" kataku.
"Biar saja, selagi mereka tidak mengganggu kita. Paling hanya anak-anak kampung atau sesama turis yang tersesat. Aku malah merasa semakin nikmat kalau diintip," katanya tenang.

Ketika gairahnya kembali bangkit, maka aku mengenjotnya lagi dengan perlahan untuk mengembalikan ketegangan kejantananku yang sudah mulai menurun karena ketika kami beristirahat tidak ada rangsangan kenikmatan. Aku memeluknya kembali, kemudian mengencangkan kejantananku dan menggenjotnya lagi.

Setelah kurasakan kejantananku mengeras kembali, maka kuberikan isyarat untuk doggy style. Ia mendorong tubuhku agar dapat mengambil posisi menungging, namun kutahan. Kuangkat kaki kirinya dan kuputar melewati kepalaku. Ia sudah membelakangiku dalam keadaan berbaring. Pantatnya dinaikkan sedikit dan kugenjot lagi area intimnya. Kurebahkan badanku di atasnya. Kami berciuman dalam posisi ia kunaiki tengkurap, sementara kemaluan kami masih terus bertaut dan menjalankan kegiatannya.

Aku menusuk area intimnya berulang kali. Ia pun mendesah sambil meremas rumput di dekatnya. Aku berdiri di atas lututku dan kutarik pinggangnya. Kini ia berada dalam posisi nungging dengan pantat yang disorongkan ke kemaluanku. Setelah hampir dua puluh menit permainan kami yang kedua ini, Hanny semakin keras berteriak dan sebentar-sebentar mengejang. Area intimnya terasa semakin lembab dan hangat. Kuhentikan genjotanku dan kucabut kejantananku.

Hanny berbalik telentang dan sebentar kemudian aku naik ke atas tubuhnya dan kembali menggenjot area intimnya. Akhirnya aku merasa hampir mencapai puncak dari kenikmatan ini. Kutarik buah zakarku sehingga kejantananku keliatan agak memanjang.

"Hanny, kayaknya aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," teriakku.
"Ouhh.. Tunggu dulu.. Sebentar lagi.. Kita sama..".

Napas kami semakin terengah-engah. Kukendorkan sebentar otot Kegelku dan kemudian kukencangkan, kutahan dan kugenjot lagi dengan cepat.
Ketegangan meliputi seluruh keluarga besar Papa saat ia memutuskan untuk menikah lagi. Mama dan ketiga orang kakakku menentang keputusan Papa. Masalahnya, perempuan yang mau dinikahi Papa, sebut saja namanya Rina, seusia dengan kakak perempuanku yang kuliah semester 2.Aku yang waktu itu baru lulus SMP belum begitu paham dengan urusan orang tua. Apalagi aku jarang bertemu Papa karena ia kerja di kota lain. Tapi Papa tetap pada keputusannya. Ia menikah lagi tanpa dihadiri oleh anak-anaknya. Ia dan istri barunya tinggal di kota J di mana ia selama ini bekerja, sedangkan kami anak-anaknya tinggal bersama Mama.Meski tinggal berjauhan, Papa tetap rajin mengunjungi kami seperti biasanya. Hanya saja ia tak pernah mengajak istrinya karena mungkin khawatir akan menimbulkan konflik. Begitu juga soal biaya hidup, Papa tidak pernah terlambat mentransfer ke rekening Mama.
Placeholder
Waktu lulus SMA, karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri, Papa menawariku untuk kuliah di Jakarta karena ia punya kenalan rektor di salah satu perguruan tinggi swasta di sana. Semula aku ragu. Apalagi Mama dan ketiga kakakku tak setuju. Mereka ingin aku berjauhan dengan Mama.Tapi ketika kemudian ada kabar kalau Papa masuk rumah sakit, aku akhirnya menerima tawaran Papa. Aku dan kakak perempuanku, sebut saja namanya Mbak Dewi, berangkat ke Jakarta untuk menengok Papa. Aku trenyuh saat melihat Papa terbujur lemah di tempat tidur.Saat itulah untuk pertama kalinya aku bertemu Rina. Mbak Dewi tidak saling bertegur sapa dengan Rina. Kelihatan sekali kalau ia sangat tidak suka pada istri baru Papa itu. Aku pun sebetulnya juga menyimpan rasa marah karena Rina telah merebut Papa dari Mama, tapi karena merasa jengah dengan suasana yang begitu kaku, sedikit-sedikit aku mau juga diajak bicara oleh Rina.Karena kasihan pada Papa itulah kemudian aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Mbak Dewi marah saat kukatakan itu padanya, tapi aku bersikukuh pada pendirianku. Menurutku, paling tidak ada satu anak Papa yang menemaninya di Jakarta, karena tak ada satupun kerabat di kota metropolitan itu.Akhirnya Mbak Dewi pulang sendirian, sedangkan aku menjaga Papa di rumah sakit sampai Papa diperboleh pulang. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Papa, aku pulang untuk mengambil dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran di perguruan tinggi.
Placeholder
Sampai di rumah aku diomeli oleh kakak-kakakku, sementara Mama hanya bisa menangis. Tapi aku kukuh pada pendirianku. Lagipula Rina tak seburuk yang mereka kira. Kakak-kakakku menganggap kalau Rina mau dinikahi Papa hanya karena Papa kaya.Tapi selama beberapa hari bersamanya aku punya penilaian sendiri. Justru Rina orang yang bersahaja. Ia pun ramah, tidak galak seperti ibu tiri dalam film. Bagiku, Mama Rina adalah sosok yang menyenangkan, selain juga cantik.Seharusnya kakak-kakakku bersyukur ada Rina yang merawat Papa di kota J. Mungkin juga Mama salah, kenapa dulu menolak pindah ke kota J. Kakak-kakakku pun akhirnya menyerahkan keputusannya padaku. Hanya saja mereka berpesan agar aku kos saja di dekat kampus. Kalau itu aku setuju karena rumah Papa dengan perguruan tinggi yang akan kumasuki sangat jauh.Di Jakarta, untuk sementara aku tinggal di rumah Papa sampai urusan administrasi pendaftaranku selesai. Rina lah yang mengantarku ke kampus, mulai dari awal sampai tes penerimaan, karena Papa sibuk dengan pekerjaannya.Dan jika ada waktu senggang, ia mengajakku ke tempat-tempat wisata yang ada di Jakarta, atau sekedar makan siang bersama di Pizza Hut atau Mc Donald. Begitu juga ketika aku dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru, Rina yang menemani mencari tempat kos.Namun hal yang terduga terjadi padaku. Kebersamaan selama beberapa hari dengan Rina menumbuhkan perubahan pada diriku. Selain aku mulai terbiasa memanggilnya Mama Rina, muncul rasa aneh dalam diriku.Aku berusaha sekuat tenaga menepis perasaanku itu, karena merasa tak sepantasnya perasaan itu ada, tapi tak pernah bisa. Entah kenapa ada semacam rasa suka saat berduaan dengan ibu tiriku itu. Aku takut mengakui kalau aku jatuh cinta padanya, tapi memang itulah yang terjadi.Aku merasa kesepian saat mulai tinggal di tempat kos, apalagi saat menjelang tidur. Ingatanku selalu pada Mama Rina yang suka memakai baju ketat tanpa lengan kalau di rumah.Yang paling menggetarkan hatiku adalah ketika kami ngobrol berdua di sofa teras belakang rumah. Satu kakinya ditumpangkan ke kaki lainnya hingga menampakkan pahanya yang mulus. Diam-diam aku ereksi membayangkan Mama Rina. Kerinduanku padanya terasa sangat menyiksa.Untungnya rinduku pada Mama Rina terobati, setidaknya seminggu sekali, karena setiap Jumat malam ia, kadang bersama Papa kadang sendirian, menjemputku di tempat kos agar hari Sabtu dan Minggu aku bisa tinggal di rumah Papa. Perasaan yang kupendam makin memburuk saat muncul ketidaksukaanku pada Papa. Semacam cemburu begitulah. Aku lebih suka jika hanya Mama Rina sendiri yang menjemputku.Aku tak betah tinggal di rumahnya jika ada Papa. Dan rasa cinta pada Mama Rina yang usianya sekitar 4 sampai 5 tahun lebih tua dariku makin tumbuh subur. Gejolak darah mudaku menggebu-gebu setiap kali melihat Mama Rina. Aku mulai berkhayal tentang dia, membayangkan nikmatnya mencumbui bibir indahnya. Sadar atau tidak, aku telah terobsesi pada Mama Rina.Saking besarnya obsesiku pada Mama Rina hingga timbul hasrat isengku. Diam-diam kupinjam handycam milik Papa yang tersimpan di laci ruang keluarga, lalu kubeli kaset kosong. Saat aku mandi kuletakkan handycam itu di tempat tersembunyi dan kuaktifkan mode perekamannya.Sudah kuperhitungkan waktunya dengan kebiasaan Mama Rina mandi. Kurasakan debaran jantungku ketika melihat Mama Rina masuk kamar mandi. Di ruang keluarga aku menunggu dengan pura-pura nonton TV. Selama menunggu, aku gelisah tak karuan. Tak sabar ingin segera melihat hasilnya.Begitu Mama Rina selesai mandi dan masuk ke kamarnya, bergegas kuambil handycam itu. Di dalam kamar yang telah kukunci kuputar ulang rekamannya. Aku menahan nafas menyaksikan adegan demi adegan mulai Mama Rina masuk kamar mandi, membuka baju dan dan mulai mandi.Panas dingin rasanya melihat tubuh telanjang Mama Rina yang begitu indah. Kedua mataku tak berkedip menikmati setiap gerak-geriknya. Begitupun ketika ia selesai mandi dan mengenakan BH dan celana dalam sexy berwarna hitam. Rekaman itu kemudian kutransfer ke komputer sehingga aku bisa memelototi lekuk liku tubuh Mama Rina lebih jelas.Tak puas dengan rekaman kamar mandi, aku pun mengalihkan sasaran ke kamar tidur Mama Rina. Saat ia mandi aku menyelinap ke kamarnya. Kuletakkan handycam di tempat tersembunyi dan kuarahkan ke tempat tidurnya. Tapi cara ini kurang efektif.Aku harus menunggu esok hari saat Mama Rina tak di kamar untuk mengambil handycam. Kutelepon Papa minta ditransfer sejumlah uang yang kukatakan untuk beli buku, padahal kubelikkan kamera mini yang terhubung ke komputer. Dengan begitu aku bisa mengamati langsung gerak-gerik Mama tiriku di tempat tidur dan sekitarnya.Aku hanya mengaktifkan kamera mini saat Papa tidak di rumah. Aku tak mau melihat ia dan Mama Rina bercumbu di tempat tidur. Yang kuinginkan hanya Mama Rina dalam keadaan sendirian, hingga suatu ketika ada satu adegan yang membuat nafsuku meronta dan berujung pada onani.Betapa tidak. Saat itu siang hari, usai makan dan ngobrol di ruang keluarga, Mama Rina minta diri mau tidur. Ngantuk, katanya. Papa sedang mengunjungi Mama, sehingga praktis hanya ada aku dan Mama Rina serta pembantu rumah tangganya. Begitu ia masuk kamar, aku pun ke kamarku dan langsung menghidupkan komputer. Di monitor kusaksikan Mama Rina merebahkan dirinya di ranjang.Mulanya kulihat ia tenang dan kupikir sudah tidur. Tapi beberapa menit kemudian ia tampak gelisah. Tidurnya berubah-ubah posisi yang membuat baju tidurnya tersingkap. Beberapa menit kemudian tangannya mengelus-elus “miliknya” yang tertutup celana dalam putih.Aku menahan nafas dengan mata tak berkedip melihat ke layar monitor. Tak lama setelah itu tangan Mama Rina menyusup ke celana dalamnya disertai goyangan pinggul yang membuat birahiku naik ke otak. Aku jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama. Kuremas lembut “milikku” sambil mengamati gerak-gerik Mama Rina.Adegan berikutnya, Mama Rina melepas baju tidurnya. Ternyata ia tidak pakai BH. Tubuhku panas dingin menyaksikan aksinya. Kemudian pelan-pelan Mama Rina melepas celana dalamnya dan mulai memainkan “miliknya” dengan penuh gairah. Sayang suaranya tak terdengar. Andai terdengar pasti makin asyik. Tubuhnya menggelinjang merasakan kenikmatan yang dibuatnya.Beberapa saat kemudian Mama Rina memiringkan tubuhnya dan membuka laci yang ada di samping tempat tidurnya. Jantungku berdegup kencang manakala melihat benda yang diambilnya. Benda mirip kemaluan laki-laki. Dengan ekspresi penuh perasaan, Mama Rina menggesek-gesekkan benda itu di “miliknya”.Lagi-lagi pinggulnya menggelinjang. Aku sudah menduga adegan selanjutnya. Ya, Mama Rina mulai memasukkan benda itu ke “miliknya”. Mulutnya menganga akibat nikmat yang dirasakannya. Tak mau kalah dengan Mama Rina, aku pun menelanjangi diriku sendiri dan makin asyik memainkan “milikku”.Mama Rina mengangkat kedua kakinya dengan posisi mengangkang sambil memainkan benda itu di “miliknya”. Matanya terpejam, mungkin sedang membayangkan Papa yang menyetubuhinya.Setelah itu Mama Rina tengkurap. Pantatnya ditunggingkan sementara tangan satunya memegangi “mainannya” yang diberdirikan di ranjang. Begitu sudah pas, ia mulai menggoyang pantatnya naik turun dengan posisi duduk. Sesekali alat itu terlepas dan Mama Rina membetulkannya.Puas dengan posisi duduk, Mama Rina menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar saat “mainannya” dikocok-kocokkan dalam”miliknya”. Seiring dengan itu, aku pun mengocok “milikku” makin cepat dengan genggaman yang makin erat. Beberapa menit kemudian Mama Rina berguling-guling di ranjang.“Mainannya” dicabut, diganti dengan tangannya yang membekap “miliknya”, sementara kedua kakinya menjepit erat. Nafasnya memburu, terlihat dari perut dan dadanya yang naik turun tak beraturan. Tampaknya Mama Rina sudah mencapai orgasme. Aku mempercepat kocokanku hingga akhirnya cairanku tumpah ke lantai. Aku terengah-engah, sama seperti Mama Rina.Beberapa saat kemudian Mama Rina memasukkan kembali “mainannya” ke dalam laci, lalu rebah lagi di ranjang. Wajahnya terlihat puas. Ia pasti kelelahan setelah melakukan masturbasi hingga akhirnya tertidur dalam keadaan telanjang bulat. Kubaringkan tubuhku di ranjang setelah kuberesi cairanku yang berceceran di lantai dengan tisu. Nikmat sekali rasanya. Setelah kejadian itu, obsesiku pada Mama Rina makin dalam merasuki batinku.Aku bukannya tak mau berusaha menjauhkan perasaan yang tak pantas itu dari lubuk hatiku. Menjelang akhir semester pertama aku menjalin hubungan khusus dengan teman sekampus, sebut saja namanya Nina. Aku berharap, berpacaran dengan Nina akan membuat obsesiku pada Mama Rina bisa teralihkan. Tapi nyatanya tidak. Meskipun aku berpacaran dengan Nina, tapi yang selalu hadir dalam khayalku menjelang tidur tetap saja Mama Rina.Ketika aku mudik libur semesteran pun bukan Nina yang kurindukan, tapi Mama Rina. Aku benar-benar bingung menghadapi kenyataan ini. Sudah berkali-kali kutekankan pada diriku sendiri, bahwa tak mungkin aku bisa mendapatkan cinta Mama Rina, tapi sulit sekali.Seperti menghapus noda tinta di baju seragam. Makin digosok, nodanya makin melebar. Bahkan, saking rindunya, diam-diam kutelepon Mama Rina. Basa-basinya adalah menanyakan kabarnya dan kabar Papa. Padahal itu hanya sebagai modus untuk mengobati kerinduanku meski hanya mendengar suaranya.Suatu hari Mama Rina memintaku menemaninya ke kota B untuk menengok orang tuanya. Saat itu Papa sedang ke Singapura untuk keperluan bisnis. Dengan bermobil kami berdua meluncur ke sana. Tapi kami tidak menginap. Sorenya kami kembali ke kota J.Aku tak menolak ketika Mama Rina menawariku menginap di rumahnya, karena hari sudah malam. Justru itu yang kuharapkan, karena terus terang, selama bermobil dengan Mama Rina nafsuku meletup-letup melihat kemulusan pahanya.Apalagi ketika ia condongkan sandaran jok ke belakang dan kemudian matanya terpejam. Ingin rasanya kususupkan jari-jemariku ke sela-sela roknya yang tersingkap setiap kali ia bergerak menggeser posisi berbaringnya. Tapi aku tak cukup punya nyali untuk berbuat senekad itu, walaupun keinginanku begitu kuat. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumahnya dan berharap ia melakukan masturbasi lagi.Hingga hampir jam 10 malam mataku tak letih memandangi monitor. Dengan menggunakan mode infrared keadaan kamar Mama Rina tetap bisa terlihat dengan baik. Hanya saja tampaknya harapanku tak terkabul. Mama Rina sepertinya sudah tidur, walaupun ia kadang bergerak, berganti posisi tidur.Aku hampir putus asa menunggunya melakukan “adegan spektakuler” seperti sebelumnya dan berniat untuk tidur juga. Saat aku hendak beranjak dari kursi, kulihat Mama Rina bangun. Sesaat ia duduk di tepi ranjang, lalu berjalan menuju pintu. Mungkin ia hendak ke kamar kecil.Seketika kantukku sirna. Kutunggu Mama Rina kembali ke kamarnya. Benar saja. Beberapa menit kemudian ia masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Selimutnya dibiarkan teronggok di sampingnya. Jantungku berdebar menunggu ia “beraksi”. Ia tampak gelisah, terlihat dari gerakan tubuhnya.Kadang miring, kemudian kembali telentang. Setelah itu miring lagi sambil memeluk guling. Tak sampai lima menit, ia beranjak lagi dari tempat tidur, membenahi rambutnya, lalu keluar lagi. Aku menunggu dengan sabar di depan monitor.Jantungku hampir copot saat terdengar bunyi “klek”, gagang pintu kamarku bergerak. Tapi karena terkunci, tidak bisa terbuka. Aku yang sedang tegang menunggu Mama Rina kembali ke tempat tidurnya bukan main kagetnya. Kuamati gagang pintu kamarku. Bergerak lagi. Aku diam terpaku di tempat dudukku, menduga-duga. Kalau bukan hantu, pasti Mama Rina yang melakukannya.“Mau apa dia malam-malam ke kamarku?”, hatiku bertanya-tanya. Jantungku berdetak makin tak beraturan. Seketika terbersit dalam pikiranku untuk membuka pintu dengan satu harapan, ia menginginkan hal yang sama denganku. Begitu kubuka pintu kamarku, kulihat Mama Rina hendak masuk lagi ke kamarnya. Ia tampak kaget melihatku tiba-tiba muncul.“Oh, kukira kamu sudah tidur, Lang”, ujarnya. Ia urungkan niatnya masuk ke kamar.“Belum. Ada apa, Ma?”, jawabku sambil balik bertanya dengan nada agak gagap.“Mama nggak bisa tidur. Mungkin tadi sempat ketiduran di mobil kali ya”.“Kalau kamu belum ngantuk, temani Mama nonton TV di kamar yuk”, ajak Mama Rina.Karuan saja aku gugup. Keringat dingin menetes di dahiku. Buru-buru kututup pintu kamarku, takut kalau Mama Rina tiba-tiba nyelonong ke kamarku dan mendapati kalau aku mengamati kamarnya melalui komputer.“Kok bengong? Ayo sini. Kita nonton di kamar Mama aja”, tukas Mama Rina sambil melambaikan tangan.Dengan pikiran berkecamuk, kumasuki kamar Mama Rina. Mama Rina meraih remote dan menyalakan TV, sementara aku berdiri saja di depan pintu. Mama Rina menoleh ke arahku sembari berkata, “Sini, Lang”. Tangannya sigap membenahi bedcover lalu menepuk-nepuknya sebagai isyarat agar aku naik ke ranjangnya.Kubuang jauh-jauh kecanggungan yang kurasakan dan kulangkahkan kaki menuju ranjang. Begitu kubaringkan tubuhku, Mama Rina berbaring di sebelahku sambil menyelimuti tubuh kami berdua. Udara di kamarnya memang dingin sekali. Entah karena AC-nya atau efek dari debaran jantungku saja.Baru sesaat aku rebahan, Mama Rina yang postur tubuhnya mungil seperti Yuni Shara itu mencecarku dengan pertanyaan yang membuatku kelabakan.“Tumben pakai ngunci pintu segala. Emang lagi ngapain, Lang?”.Di saat aku mencari jawaban yang tepat, Mama Rina ngomong lagi dan aku jadi salah tingkah.“Lagi onani ya? Nggak usah malu lah. Mama kan juga pernah muda. Tahu lah kebiasaan cowok seusia kamu”, tandas Mama disertai senyuman penuh arti.Entah kenapa, ucapan Mama Rina yang terakhir itu membangkitkan keberanianku untuk bicara.“Iya, Ma. Habis lagi kepingin sih”. Sengaja kukatakan itu untuk memancing reaksinya. Aku sangat berharap ia bilang “Sini, Mama kocokin”. Jantungku berdebar menunggu jawabannya. Tapi ia hanya tertawa renyah.“Nggak apa-apa. Itu hal biasa kok. Asal jangan keseringan aja”, tukas Mama, masih disertai tertawa kecil. “Nanti jadi cepat keluar lho”, lanjutnya.Pembicaraan blak-blakan itu membuat kekakuanku mencair. Aku mulai berani mengimbangi obrolan panas Mama Rina.Ah, masa sih, Ma?”, aku bertanya asal saja dan tak butuh jawaban ilmiah.“Kata orang sih. Mama sendiri mana tau? Kamu yang cowok harusnya tau”.“Emangnya hanya cowok yang onani, Ma? Cewek emang nggak pernah”, cecarku mulai menjurus.“Iya juga sih. Tapi cowok yang paling sering”, kata Mama. Tampaknya ia mulai gerah juga.“Mama sendiri pernah nggak?”, pancingku.“Idiih, kamu apaan sih, tanyanya kok aneh-aneh gitu? Ya enggak lah”, tandas Mama. Sekilas wajahnya bersemu merah. Ia mengalihkan pembicaraan sambil memainkan remote TV. Sambil nonton TV, kami ngobrol tentang banyak hal. Meskipun begitu, debaran jantungku tetap saja menghentak tak karuan.Apalagi saat kakiku bersenggolan dengan kaki Mama Rina. Kurasakan darahku berdesir. Ada semacam rasa nikmat yang menjalari sekujur tubuhku. Ingin rasanya kurengkuh tubuh Mama Rina dalam pelukanku dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. Tapi aku takut ia marah dan melaporkannya ke Papa. Aku hanya bisa diam menahan gejolak nafsuku.Tak terasa, sudah jam 12 malam. Kulihat Mama Rina beberapa kali menguap.“Mama ngantuk ya?”, tanyaku.“Iya. Kamu sudah ngantuk belum”, Mama Rina balik bertanya.“Iya juga sih, Ma. Boleh nggak aku tidur sini?”, tukasku spontan.“Emang kamu mau tidur sama Mama?”, Mama Rina menoleh ke arahku. Aku tak ingin kehilangan momen berharga dalam hidupku. Buru-buru kujawab.“Kalau Mama ngijinin ya mau aja, Ma”.Mama Rina tersenyum dan berseloroh, “Boleh aja, tapi jangan ngompol ya”. Aku nyengir kuda. Dalam hati aku girang sekali dapat kesempatan langka seperti itu. Aku beringsut dari ranjang dan bilang pada Mama Rina kalau mau buang air kecil. Begitu aku kembali, cahaya dalam kamar sudah berganti redup.Kusibak selimut dan sekilas terlihat olehku paha mulus Mama Rina akibat baju tidurnya tersibak. Aku menghela nafas dalam-dalam dan kubaringkan tubuhku di sebelah Mama Rina sambil membenahi selimut yang cukup besar untuk kami pakai berdua.Dalam keadaan seperti itu aku tak bisa tidur. Kuamati Mama Rina yang berbaring memunggungiku. Aku tak tahu ia sudah tidur atau belum, tapi nafsuku tak henti-hentinya bergejolak, menggodaku untuk melampiaskannya. Aku bertahan untuk tidak tergoda karena takut resikonya. Tapi gumpalan birahiku yang tertahan terus saja meronta-ronta, hingga membuatku mata hatiku gelap. Bodoh rasanya jika tak kumanfaatkan kesempatan emas itu.Dengan berpura-pura sudah tidur, kugeser tubuhku hingga menempel ke punggung Mama Rina. Aku diam menunggu reaksinya. Karena Mama Rina bergeming, kumiringkan tubuhku hingga sejajar dengan tubuhnya. Rasa nikmat tiba-tiba saja menghentak saat “senjataku” menempel di pantat Mama Rina.Aku diam lagi, menunggu. Karena tak ada reaksi, kulingkarkan satu tanganku ke tubuh Mama Rina seolah dalam keadaan tak sadar dan menganggapnya sebagai guling. Harum rambut Mama Rina merebak ke rongga hidungku.Sesaat kemudian kudengar Mama Rina menggumam lirih dan darahku berdesir ketika tangannya memeluk tanganku yang melingkar di tubuhnya. Gempuran nafsu birahi yang begitu kuat tak lagi mampu kubendung. Kuciumi rambut Mama Rina, kemudian turun ke lengannya. Gairahku makin menjadi-jadi saat kudengar Mama Rina mendesah.Satu tanganku menjalari pahanya dengan beberapa kali usapan lembut sebelum menyusup ke balik baju tidur dan mulai memainkan jari tengahku di sela-sela bagian bawah tubuhnya. Aku melakukannya dengan selembut mungkin dengan harapan Mama Rina akan terangsang. Harapanku terkabul. Pelan-pelan Mama Rina membuka kedua kakinya. Tak terlalu lebar, tapi sudah cukup buatku untuk lebih leluasa memainkan jariku.Mama Rina kembali mendesah lirih. Kusibak lebar-lebar selimut yang menutupi kami berdua karena aku ingin melihat langsung permainan jariku. Aku harus bersabar melakukan itu dan kesabaranku membuahkan hasil. Bukaan kaki Mama Rina makin lebar dengan satu lututnya terlipat sedikit.Pelan-pelan kususupkan jariku ke celana dalam Mama Rina hingga kurasakan bulu-bulu halusnya. Begitu jariku menyentuh “miliknya” yang lembut, langsung kumainkan jariku. Mula-mula kuusap bibir kemaluan Mama Rina. Kemudian pelan-pelan usapanku beralih ke bagian tengah. Kulihat perut Mama Rina mengempis seperti sedang menahan nafas. “Miliknya” kurasakan mulai basah.Mama Rina yang terlihat pasrah membuatku makin berani. Kulorot celana dalamnya dengan hati-hati sampai lepas. Aku ingin mempraktekkan adegan yang kulihat di film biru. Kutelungkupkan tubuhku di atas kaki Mama Rina dan mulai menjilati organ sensitifnya. Sekali lagi Mama Rina mendesah disertai dengan gerakan mengangkang. Aku tak tahu apakah Mama Rina sadar melakukan itu atau hanya refleks saja.Tapi kulihat matanya masih terpejam. Kulanjutkan jilatanku dengan penuh perasaan. Ternyata memang mengasyikkan. Ada sensasi tersendiri melakukan itu. Apalagi saat pinggul Mama Rina bergerak-gerak, seolah merespon kenikmatan yang kuberikan.“Lang, ngapain kamu?”, ujar Mama Rina tiba-tiba sambil bertumpu di keduanya dan menatapku. Aku sedikit kaget dan balas menatapnya. Kutunggu reaksinya, marah atau tidak. Tapi begitu Mama Rina berbaring lagi, kulanjutkan lagi permainan lidahku dengan lebih agresif. Sesekali pinggul Mama Rina bergerak mengikuti irama permainanku.Mama Tiriku Yang Cantik Dan Menggoda “Ooh, sudah, Lang. Nanti keterusan… Ohh”, desis Mama Rina. Tangannya mencengkeram kuat rambutku. Tak kuhiraukan permintaannya. Makin kuat ia mencengkeramku, makin dahsyat jilatanku hingga lidahku masuk ke “miliknya”.Dengan dorongan yang agak kuat pada kedua paha Mama Rina ke arah yang berlawanan kuisyaratkan agar ia lebih mengangkang lebih lebar lagi. Agaknya Mama Rina makin terangsang dengan aksiku. Ia pasrah saja “miliknya” kuhujani dengan lidah dan bibirku habis-habisan.Puncaknya, pinggul Mama terangkat disertai goyangan yang makin kencang, seolah mengimbangi tarian lidahku. Desahnya makin tak terkendali. Kedua tangannya mencengkeram erat seprai tempat tidur. Goyangannya melemah saat desah panjang keluar dari mulutnya.“Sudah, Lang. Mama sudah orgasme … Ohhh …”, desisnya seraya menahan kepalaku agar tak bergerak lagi. Pelan-pelan pinggulnya turun lagi.Ciumanku pun kemudian beralih ke perut dan berakhir di dadanya. Kusibak belahan dasternya agar bisa kucumbui dua bukitnya yang indah. Mama Rina melingkarkan kedua tangannya di punggungku pertanda ia menikmati cumbuanku. Sambil mencumbui dadanya, tanganku menjelajahi selangkangannya. Tampaknya Mama Rina tergoda untuk mengimbangiku. Satu tangannya beralih ke celanaku.Tak puas dengan meraba bagian luar, tangan Mama Rina pun kemudian menyusup ke dalam celanaku dan mulai menggenggam dan mengusap lembut “milikku” yang sudah berdiri tegak. Saat itulah cumbuanku beralih ke lehernya yang jenjang. Kubungkukkan tubuhku sedikit hingga “milikku” bisa kugesek-gesekkan ke “milik” Mama Rina. Mama Rina mendesah dan mendesis yang segera kubungkam dengan pagutan di bibirnya.Kami pun berciuman dalam balutan nafsu birahi yang menggelegak. Mama Rina mencengkeram T-shirt yang kukenakan dan menariknya ke atas. Aku pun berhenti sejenak untuk melepas T-shirt.Kuminta Mama Rina untuk duduk di ranjang, sementara aku berpindah posisi di belakangnya . Kusibak rambut Mama Rina dan kucumbui lehernya, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua bukitnya. Mama Rina menoleh ke arahku hingga kami bisa saling berpagutan lagi.Beberapa saat kemudian aku rebah di ranjang. Mama Rina melepas dasternya sebelum melucuti celanaku, lalu mengulum”milikku” dengan gerakan lembut. Begitu nikmat hisapannya hingga aku telentang seolah tanpa daya.Sampai sejauh itu aku masih merasa seperti mimpi, telanjang berdua dengan Mama Rina dalam panasnya api birahi. Rasanya sulit dipercaya kalau peristiwa yang selama ini hanya ada dalam khayalku, saat itu benar-benar terjadi. Aku sadar kalau itu salah.Tapi dalam keadaan seperti itu, siapa yang bisa berhenti?Kubiarkan Mama Rina menikmati “milikku” sesuka hatinya. Hangatnya mulut Mama Rina melambungkanku dalam sebuah perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah puas melakukan oral, Mama Rina duduk di atasku.Aku menunggu detik-detik mendebarkan saat “milikku” menembus “miliknya”, tapi tak terjadi. “Milik” kami berdua hanya saling bergesekan saat Mama Rina merebahkan tubuhnya di atas tubuhku sambil mengggoyang-goyangkan pinggulnya ke depan dan ke belakang. Kami saling berpagutan untuk melengkapi sensasi nikmat gesekan itu.“Milik” Mama Rina terasa telah demikian basah, hingga tak heran akhirnya “senjataku” amblas ke dalam “miliknya”. Mama Rina mendesis dan menelungkupkan wajahnya di leherku. Kupegang erat-erat pantat Mama Rina saat aku mulai menggoyang pinggulku karena Mama Rina tak kunjung bergoyang.Lama-lama ia pun mengimbangi gerakanku. Mula-mula masih dengan telungkup sebelum kemudian bangkit dan mulai bergerak naik-turun dengan ritme lambat. Tanganku leluasa menggerayangi payudaranya yang bergerak kesana-kemari.Untuk beberapa saat kubiarkan Mama Rina bergoyang di atasku. Setelah itu aku bangkit karena tak tahan untuk tidak mencumbui dua bukit ranumnya. Gara-gara itu goyangan Mama Rina melambat. Tak lama setelah itu ia mendorongku agar rebah lagi. Agaknya ia kurang bebas bergerak. Begitu aku rebah, Mama Rina langsung tancap gas.Ritme goyangannya makin kencang sebelum kemudian tubuhnya meregang disertai desahan panjang dari mulutnya yang indah. Ia rebahkan lagi tubuhnya di atasku. Nafasnya memburu, sementara kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat bahuku.“Udah orgasme, Ma?”, tanyaku mesra di telinganya.“Iya, sayang … Ohh …”, jawab Mama Rina terengah-engah.Terbersit rasa bangga dalam hatiku. Aku berhasil membuat Mama Rina orgasme. Kubiarkan ia menikmati orgasmenya beberapa saat. Setelah nafasnya kembali tenang, kuminta ia untuk menungging. Tanpa diminta dua kali, Mama Rina beringsut menuruti permintaanku. Begitu ia sudah siap, kutancapkan “milikku” ke dalam “miliknya”. Mama Rina langsung mendesah lirih, “Oohhh …” saat “milikku” tertanam dalam-dalam di “miliknya”.Aku pun mulai melakukan gerakan maju-mundur pelan-pelan. Kunikmati betul-betul momen yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku. Kuusap lembut pantat Mama Rina, merasakan kelembutannya.Setelah itu tanganku turun ke dadanya, meremas-remasnya dengan penuh perasaan. Kemudian, gerakanku kupercepat. Beberapa kali Mama Rina memekik tertahan saat “milikku” menghunjam dalam ke “miliknya”. Tangannya mencengkeram kuat-kuat seprai tempat tidur.Gerakanku makin cepat ketika kurasakan “laharku” dalam “kawahku” akan meledak. Aku tak bisa menahan desahanku saat spermaku kutumpahkan ke pantat Mama Rina. Mama Rina merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara aku masih bertumpu pada kedua lututku, merasakan detik-detik puncak kenikmatan hingga tetesan spermaku yang terakhir. Setelah itu aku turun dari ranjang untuk mengambil tisu.Mama Rina masih tertelungkup di ranjang, meski tubuhnya sudah kubersihkan dari spermaku. Kubaringkan tubuhku di sampingnya. Mataku menerawang ke langit-langit kamar dengan pikiranku melayang. Aku telah memulai satu babak baru dalam kehidupanku. Kenikmatan seks. Meski terasa sebentar, tapi aku yakin efeknya akan sangat panjang. Apalagi aku melakukannya dengan Mama Rina yang notabene Mama tiriku, istri kedua Papa.Saat tengah melamun, kudengar Mama Rina menghela nafas. Kumiringkan tubuhku dan memeluknya.“Mama marah ya?”, ujarku memecah kesunyian. Mama Rina tak menjawab. Kupalingkan wajahnya ke arahku. Kulihat kedua matanya basah. Ia menangis. Aku jadi merasa bersalah. Kudekap erat tubuhnya.“Maafin aku ya, Ma”, ucapku lirih.Mama Rina tak menjawab. Bahkan kemudian ia melepaskan pelukanku, membenahi selimut dan berbalik memunggungiku. Tentu saja hal itu membuatku salah tingkah. Setelah diam beberapa saat, Mama Rina kupeluk dari belakang sambil menciumi rambutnya. Mama Rina bergeming.Sesekali kudengar isaknya tertahan. Keheningan yang merebak dan Mama Rina yang masih saja membisu membuatku kikuk. Memang aku semakin merasa bersalah, tapi mau apa lagi? Semuanya sudah terjadi. Percuma disesali.Karena merasa tak dihiraukan Mama Rina, aku beranjak dari ranjang, kukenakan bajuku. Lalu aku kembali ke kamarku. Saat itulah aku baru ingat kalau komputerku masih menyala. Artinya, yang kulakukan dengan Mama Rina terekam di situ. Kuputar ulang rekaman itu.Kupandangi tak berkedip adegan ranjangku dengan Mama Rina yang berdurasi sekitar 23 menit terhitung sejak aku mulai mengusilinya. Kusimpan file rekaman itu dalam folder yang kusembunyikan dengan file yang lain.Meski mencoba terpejam, tapi aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk, antara bangga bisa membuat Mama Rina orgasme, dengan rasa bersalah. Mungkin Mama Rina juga merasa bersalah telah melakukan persetubuhan denganku dan ia menyesalinya. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu Mama Rina esok paginya. Yang jelas, pasti akan canggung.Entah kenapa, tiba-tiba muncul rasa kesal pada Mama Rina ketika aku bangun tidur pagi harinya. Jika memang tak ingin itu terjadi, seharusnya ia tak mengajakku masuk ke kamarnya. Bagaimana pun juga, aku laki-laki dewasa dan Mama Rina adalah orang lain yang kebetulan dijadikan istri kedua oleh Papa.Mungkin saja ia malu telah kutiduri, dan menutupi rasa malunya dengan menangis. Kekesalanku kemudian malah melunturkan rasa bersalahku. Aku bertekad untuk membuang jauh-jauh kecanggungan pada Mama Rina. Justru sebaliknya, akan kutunjukkan pada Mama Rina kalau aku benar-benar menyukainya. Kekesalanku pada Mama Rina membuat semangatku menyala lagi.Bergegas aku bangkit dari tempat tidur. Saat sayup-sayup kudengar gemercik air dari kamar mandi, kuraih handukku. Dengan langkah ringan kumasuki kamar Mama Rina yang terbuka lebar. Kuketuk pintu kamar mandi dari dalam kamar tidurnya.Ma, ikutan mandi dong”, ujarku begitu Mama Rina membuka pintu sedikit dan menampakkan wajahnya. Sebuah handuk ia tutupkan di tubuhnya yang basah. Mama Rina tampak kaget melihat permintaanku yang tiba-tiba itu.“Boleh ya, Ma? Aku pengen sekali-sekali dimandiin Mama”, rayuku dengan wajah memelas. Mama Rina menatapku dalam-dalam. Ia seperti sedang berpikir. Mungkin sedang menimbang-nimbang, apakah memperbolehkan atau tidak. Aku mematung tepat di depan pintu kamar mandi menunggu jawabannya.Hatiku girang bukan kepalang ketika Mama Rina mundur sambil membuka pintu kamar mandi. Tanpa sungkan aku nyelonong masuk, menggantung handuk di hanger, lalu melepas baju dan celanaku. Tak kuhiraukan Mama Rina yang mematung di depan pintu kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air yang mengucur dari shower.Tanpa beban, kutoleh Mama Rina dan kuajak untuk bergabung di bawah pancuran air, tapi Mama Rina bergeming. Kuhampiri ia, kuambil handuk yang ia pegangi untuk menutup sebagian tubuhnya dan kugantung di hanger, lalu kugamit tangannya dan menggandengnya menuju shower.Saat itu sebetulnya aku sudah terangsang. Aku yakin Mama Rina tahu aku terangsang karena jelas-jelas “senjataku” mulai membesar, tapi belum berdiri. Aku berharap ia pun terangsang melihat “milikku”. Tapi aku menahan diri agar Mama Rina merasa nyaman dulu. Aku tak ingin terlihat grusa-grusu. Aku menjauh dari shower untuk menggosok gigiku, sementara Mama Rina mulai membasuh tubuhnya dengan sabun cair.Usai menggosok gigi, aku kembali ke bawah shower, meminta sabun dari Mama Rina dan menyabuni diriku sendiri. Setelah itu aku berpindah ke belakang Mama Rina untuk menyabuni punggung sampai ke kakinya. Sejauh itu Mama Rina masih diam membisu. Tapi aku tak peduli.Aku terus saja menyabuni paha dan betis belakangnya sebelum kemudian beralih ke betis dan paha depan. “Miliknya” yang tepat berada di depan hidungku membuatku tergoda untuk memagutnya. Aku bertahan untuk tidak melakukannya.“Gantian, Ma”, ujarku sambil berdiri dan memunggunginya. Mama Rina menuruti permintaanku. Sambil berlutut, Ia sabuni punggung hingga betisku, persis seperti yang kulakukan padanya. Kuputar tubuhku hingga Mama Rina bisa beralih menyabuni betis dan paha depanku.Tak hanya itu, Tanpa kuminta, Mama Rina menyabuni juga “senjataku”. Mau tak mau, “senjataku” pelan tapi pasti makin mengeras dan berdiri. Agaknya Mama Rina juga menahan diri. Buktinya, setelah itu ia bangkit dan menghidupkan lagi showernya. Berdua kami menguyur tubuh dari busa sabun. Semerbak wanginya membuatku makin bergairah.Sesaat kemudian Mama Rina berjalan menuju hanger dan mulai membersihkan tubuhnya dengan handuk, sementara aku masih mengguyur tubuhku dengan air shower. Saat Mama Rina mulai memakai baju, aku menyusulnya dan menghanduki tubuhku. Saat itulah kupeluk Mama Rina dari belakang.Ia tampak seperti kaget dan berusaha menyingkir dariku. Kupererat pelukanku sambil mencumbui rambutnya yang basah, sementara satu tanganku bergerilya di dadanya dan satu lagi di pahanya.Tak lama kemudian kuputar tubuh Mama Rina agar menghadap ke arahku. Mama Rina memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti maknanya. Tapi aku sudah kepalang nekad. Dengan lembut kupagut bibirnya. Mama Rina diam saja, tak membalas ciumanku. Masa bodoh, pikirku.Kuhujani bibirnya dengan ciuman lembut, kemudian turun ke lehernya. “Senjataku” menempel ketat di perutnya. Sedikit demi sedikit kudorong Mama Rina sampai ke dinding dekat pintu kamar mandi. Dengan begitu aku lebih mudah mencumbui Mama Rina tanpa khawatir ia terdorong lalu jatuh.Dari leher, cumbuanku beralih ke kedua bukitnya.“Sudah, Lang … sudah …”, desisnya lirih disertai dorongan di bahuku. Aku tak menggubrisnya. Kumainkan lidahku di kedua putingnya bergantian melalui belahan dasternya. Setelah puas “menyusu”, pelan-pelan ciumanku beralih, turun ke perutnya, dan berakhir di “miliknya” yang tertutup celana dalam. Satu tanganku menyibak dasternya. Mama Rina merapatkan kedua pahanya, tapi aku pantang menyerah. Kujulur-julurkan lidahku di sela-sela pahanya.“Sudah, Lang …”, sekali lagi Mama Rina mencoba mendorongku ke belakang. Tanganku menggenggam kuat-kuat pinggulnya sambil terus memainkan lidahku. Saat dorongannya melemah, kulepas celana dalam Mama Rina.“Jangan, Lang”, cetusnya sambil menahan celana dalamnya yang sudah melorot sampai ke paha. Aku tak memaksa. Kulanjutkan jilatanku di “miliknya” yang sudah tak tertutup celana dalam. Pelan-pelan kuisyaratkan pada Mama Rina untuk membuka kedua kakinya. Semula ia bergeming, tapi sedikit demi sedikit mulai merenggang.Kesempatan itu tak kusia-siakan. Gempuran lidahku di “miliknya” makin gencar hingga membuatnya tak bisa menahan desah. Genggaman di celana dalamnya pun melemah yang membuatku dengan mudah melepas celana dalamnya sampai ke kakinya.Mama Rina berhasil kubuat terangsang. Kedua kakinya makin terbuka lebar. Tangannya mencengkeram kepalaku, tapi tidak bermaksud mendorongku. Justru seolah memintaku untuk tak menghentikan jilatanku. Desahannya terdengar begitu merdu di telingaku. Desah perempuan yang terbakar birahi. Pinggulnya bergoyang seirama dengan permainan lidahku. Tak lama kemudian, kedua kakinya menegang dan agak gemetar. Ia orgasme.Tak perlu menunggu lama untuk babak berikutnya. Mama Rina ganti jongkok di depanku sementara aku bersandar di dinding. Saat ia menghisap “milikku”, kubuka dasternya. Kami telanjang lagi. Kunikmati setiap hisapannya, seakan itu adalah yang terakhir.Selesai melakukan oral, Mama Rina berdiri dan langsung menciumku. Kuputar tubuhnya ke arah dinding. Sambil berciuman, kuangkat satu kakinya dan kubungkukkan sedikit tubuhku agar aku bisa menghunjamkan “milikku” ke “milik” Mama Rina.Ia memekik lirih, disusul dengan desahan panjang saat “senjataku” mentok di dalam “miliknya”. Kuminta Mama Rina berpegang erat di bahuku. Dengan begitu ia bisa bergelayut di tubuhku dan aku bergoyang maju-mundur.Setelah beberapa genjotan, aku keluar dari kamar mandi dengan Mama Rina masih menggelayut. Gerakan saat berjalan menuju ranjang ternyata tak kalah nikmat, karena sama juga dengan bergoyang. Sampai di ranjang kurebahkan Mama Rina dan kami lanjutkan pertarungan babak kedua sampai tuntas.Tak seperti kemarin, Mama Rina terlihat lebih rileks usai percintaan itu. Ia rebahkan tubuhnya di atas tubuhku yang masih terengah-engah, sehingga sperma yang kutumpahkan di perutnya menempel di perutku juga. Tapi ia sama sekali tak terlihat risi. Bahkan ia pun tak pelit bicara.“Lang, sebetulnya apa sih maksudmu?”, tanyanya membuka percakapan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya.“Terus terang aku jatuh cinta sama Mama waktu pertama kita bertemu”, jawabku.Mama Rina yang semula merebahkan kepalanya di dadaku berpaling menatapku.“Tapi itu ‘kan nggak mungkin, Lang. Gimana pun juga aku Mamamu”, tukas Mama Rina.“Memang nggak mungkin sih. Tapi orang kalau sudah terlanjur jatuh cinta gimana hayo?”, cetusku. Aku senang dengan percakapan ini, karena merupakan kesempatanku untuk mencurahkan perasaanku pada Mama Rina.“Aku suka cemburu kalo liat Mama mesra sama Papa”, lanjutku. Mama Rina mencubit mesra lenganku.“Mama pikir kamu cuma nafsu aja”, kata Mama Rina dengan tatapan mata penuh selidik.“Nafsu itu ‘kan timbulnya dari cinta, Ma. Mana mungkin nafsu kalau nggak ada cinta”, kilahku.“Kalo cowok sih bisa aja, Lang”, sergah Mama Rina.“Yang namanya cowok tuh seperti kucing. Asal liat ikan asin langsung deh diembat”, lanjutnya.“Ya, tapi ‘kan nggak semua cowok”, aku tak mau kalah.“Iya deh, Mama ngalah”, ujar Mama Rina.“Jadi boleh ya Ma, aku cinta sama Mama?”“Kok balik nanya? Tadi katanya terlanjur cinta, gimana sih?”, tutur Mama Rina dengan nada manja. Aku nyengir.“Terima kasih ya, Ma. Daripada aku onani terus hayo …”, selorohku. Lagi-lagi Mama Rina mencubitku.“Oh iya, tadi Papa telepon. Katanya minta dijemput jam 11”, kata Mama. Spontan wajahku kecut. Mama Rina melihat perubahan air mukaku.“Kok gitu? Bukannya seneng mau ketemu Papa?!”, ujarnya menanggapi responku. Aku tak menjawab. Kuusap lembut rambut Mama Rina sambil melihat jam dinding. Jam 8 pagi.“Lagi yuk, Ma”, ajakku spontan. Mama Rina menengadahkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan heran.“Memangnya masih bisa apa?”“Coba aja”, tantangku. Kubimbing tangan Mama Rina ke kemaluanku. Ia tanggap maksudku. Ia remas dan kocok “milikku”, sementara ia geser maju tubuhnya hingga kami bisa saling berciuman. Dalam waktu singkat “senjataku” siap tempur lagi. Apalagi ketika Mama Rina mengulumnya beberapa saat. Sekali lagi kami tenggelam dalam lautan birahi yang memabukkan.Tepat jam 11 aku dan Mama Rina sudah berada di bandara. Sekitar 15 menit kemudian kulihat Papa di antara para penumpang keluar dari gate kedatangan. Memang tampak kalau Mama Rina berusaha menjaga perasaanku. Tapi tak urung aku melengos buang muka saat Papa mengecup bibir Mama Rina begitu mereka bertemu.Aku tak bisa menyalahkannya. Ia istri sah Papa. Aku tak berhak cemburu walaupun tubuhku dan tubuh Mama Rina sudah menyatu dalam panasnya bara birahi. Ibarat kata, meski sudah kunikmati tubuh Mama Rina, tapi bukan berarti aku memilikinya. Aku sadar betul akan hal itu.Sekeluar dari bandara kami singgah di restoran untuk makan siang. Usai makan, aku minta langsung diantar ke kos, tapi Papa keberatan. Katanya ia capek sekali. Kalau harus mengantarku akan butuh waktu lama karena jauh. Ia berjanji malam harinya akan mengantarku.Setiba di rumah Papa, aku langsung tiduran di kamar. Tapi aku tak bisa tidur karena pikiranku melayang membayangkan apa yang dilakukan Papa dan Mama Rina di dalam kamar mereka. Isengku pun kambuh. Kunyalakan komputer. Aku ingin memastikan dugaanku. Ternyata benar. Di layar komputer aku melihat Papa dan Mama Rina berciuman sambil melepas baju masing-masing. Artinya mereka baru mulai.Dengan jantung berdebar kusaksikan adegan percintaan mereka. Diam-diam aku terangsang melihat mereka bercumbu di ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Hanya saja tak berlangsung lama. Dari timer yang tertera di layar monitor, tak sampai 5 menit Papa sudah terkapar di sisi Mama Rina. Saat Papa terbaring kelelahan, Mama Rina beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah itu Mama Rina mengenakan daster dan berbaring di sebelah Papa.Aku pun kemudian mematikan lagi komputerku dan kembali rebahan di ranjang. Otakku terus berpikir. Mungkin Mama Rina melakukan masturbasi karena merasa tak puas dengan Papa. Mungkin hal itu pula lah yang membuatnya tak menolak saat aku mulai mencumbuinya. Ada sepercik rasa bahagia telah memberi Mama Rina kepuasan batiniah.Entah berapa lama aku melamun, hingga tak menyadari kalau Mama Rina membuka pintu kamarku. Di tangannya ada sesuatu.“Ngelamun aja, Lang. Mama kirain sudah tidur kamu”, ujar Mama Rina sambil menutup pintu kamar lalu melangkah menuju ranjangku.Aku menoleh ke arahnya seraya bertanya, “Apa itu, Ma?”Mama Rina tersenyum penuh arti, “Ini oleh-oleh dari Papa buat kamu”. Ia sodorkan benda yang ternyata HP model terbaru saat itu.Seketika aku bangkit dari berbaringku dan duduk di sebelah Mama Rina. Kubuka kardus pembungkus HP dan kuamati isinya.“Gimana, Lang? Suka nggak?”, tanya Mama Rina.“Suka. Mana Papa, Ma? Aku mau bilang terima kasih…”, aku pura-pura tak tahu.“Lagi tidur, sayang. Entar sore aja ngomongnya ya”, kata Mama Rina sambil mencolek hidungku yang kembang kempis karena dipanggil “sayang”. Wajahnya begitu dekat denganku, hingga aku terdorong untuk memagut bibirnya. Mama Rina menyambut pagutanku dan kami berciuman. Sebentar kemudian Mama Rina berdiri.“Udah ya. Mama balik ke kamar”, katanya. Dengan berat hati kubiarkan Mama Rina berlalu dari kamarku. Ingin rasanya kucegah ia lalu mengajaknya bercinta lagi saat kupandangi tubuh mungilnya yang terbalut daster tipis dan sexy berjalan menuju pintu, tapi tak kulakukan. Tak etis rasanya menidurinya di saat Papa ada di rumah. Toh masih banyak waktu dan kesempatan di kemudian hari. Aku pun kembali tenggelam dalam kesunyian.Obsesiku pada Mama Rina berpengaruh pada hubunganku dengan Nina. Aku jadi mengabaikannya. Malam minggu pun aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah Papa daripada mengapelinya. Tak heran jika kemudian kami putus. Sebaliknya, hubungan gelapku dengan Mama Rina makin menggelora.Setiap ada kesempatan dan Mama Rina tidak sedang menstruasi, kami memadu kasih dalam balutan peluh birahi kenikmatan. Karena aku ingin “dikeluarkan di dalam”, kubeli kondom. Rasanya memang berbeda, tapi aku tak perlu terburu-buru mencabutnya saat akan”keluar”.Dalam sebuah kesempatan, Mama Rina menceritakan padaku ihwal hubungannya dengan Papa yang notabene usianya dua kali usia Mama Rina. Mama Rina adalah anak sulung dari sahabat Papa waktu kuliah, sebut saja namanya Pak Wira.Pak Wira yang tahu kalau usaha Papa sukses minta tolong pada Papa untuk mencarikan kerja buat Mama Rina yang baru lulus SMA. Sayangnya waktu itu tidak ada lowongan di perusahaan Papa. Tapi Papa membantu Pak Wira, Papa tetap menerima Mama Rina dan menjadikannya sebagai asisten pribadi.Kisah klasik antara Papa dan Mama Rina pun terjadi. Papa jatuh cinta pada Mama Rina dan bilang kalau ingin menikahinya. Karena merasa berhutang budi, Mama Rina menerima pinangan Papa yang akhirnya menimbulkan kehebohan di keluarga besarku.Mama Rina tahu kalau istri Papa yang tak lain adalah Mama kandungku tak setuju. Sebetulnya Mama Rina sempat merasa ragu, antara melanjutkan pernikahan atau membatalkan, karena selalu diliputi rasa bersalah pada Mama. Tapi Papa bersikeras ingin menikahinya dan berjanji akan berlaku adil pada kedua istrinya.Terkait dengan hubungan gelap kami, Mama Rina bilang kalau ia kerap dihantui rasa bersalah pada Papa. Tapi, sambil terisak ia mengatakan kalau ia juga jatuh cinta padaku ketika pertama kali bertemu di rumah sakit. Postur tubuhku yang tinggi besar membuatnya mengira kalau aku adalah anak sulung Papa. Tapi meski kemudian ia tahu aku anak bungsu dan usiaku lebih muda darinya, ia tak bisa mengusir perasaan cinta itu, walaupun ia menyadari kalau itu salah.Setelah hubungan intim malam itu sebenarnya Mama Rina bertekad tak ingin mengulanginya lagi. Tapi, seperti pengakuan Mama Rina, ia tak mampu menghalau hasratnya setiap kali berdekatan denganku. Cintanya padaku lah yang membuatnya pasrah padaku.Aku termenung lama memikirkan curhat Mama Rina. Tapi seperti halnya dia, aku pun sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan tak ingin hubungan kami berakhir begitu saja.Suatu sore, setahun sejak hubunganku dengan Mama Rina, Papa meneleponku saat aku dalam perjalanan pulang kuliah. Katanya, Mama Rina hamil. Ada nada gembira dari ucapannya. Aku sempat kaget. Tapi aku yakin itu bukan benihku karena aku pakai kondom. Kalaupun tidak, selalu kukeluarkan di luar. Hanya saja, yang membuatku was-was, jangan-jangan Mama Rina tak bisa lagi kuajak bercinta karena sedang hamil.Kekhawatiranku memang tak terbukti. Mama Rina masih mau memberiku “jatah”, tapi aku diminta untuk tidak terlalu “heboh” menggoyangnya, karena takut akan berdampak buruk pada janinnya. Aku bisa memaklumi itu. Kami masih aktif melakukannya di malam minggu, saat Papa tak di rumah tentunya, sampai kandungan Mama Rina berusia 6 bulan.Bulan ketujuh kehamilan Mama Rina, Papa memintanya untuk tinggal di rumah orang tua Mama Rina di kota B. Penyebabnya karena Papa makin sering melakukan perjalanan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Ia khawatir pada kondisi Mama Rina.Aku merasa sangat kehilangan ketika Mama Rina akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Walaupun hanya sementara sampai bayinya lahir, rasa kehilanganku tak dapat kupendam. Memang Mama Rina masih sering meneleponku, menanyakan kabarku, tapi aku tak sanggup jauh darinya. Di sisi lain, aku tak keberanian untuk sendirian mendatanginya di kota B, karena takut akan menimbulkan kecurigaan orang tua Mama Rina.Ketika anak Mama Rina lahir, Papa yang sudah ada di kota B seminggu sebelumnya, menyuruhku datang ke kota B untuk menengok adik baruku. Setiba di rumah sakit, Mama Rina terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Ia tampak ceria dengan bayi mungil dalam gendongannya. Papa pun terlihat sangat bahagia.Aku makin tak berharap bisa mengulang kebersamaan bersama Mama Rina ketika Papa memutuskan untuk pindah ke kota B. Rumah yang biasa ditempatinya dikontrakkan. Papa berpesan padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahku, karena ia ingin aku meneruskan kepemimpinan di perusahaannya. Aku tak terlalu memikirkan hal itu. Yang kupikirkan hanya Mama Rina. Sudah jelas bahwa hubungan kami harus berakhir karena tak ada lagi kesempatan.Tak dapat kupungkiri, kalau aku masih menyimpan hasrat pada Mama Rina, karena setiap kali mengunjunginya di kota B, gairahku muncul. Begitu kuatnya hasrat itu hingga ketika ada kesempatan berdua saja dengan Mama Rina, terucap kata kalau aku ingin melakukannya lagi.Ada sepercik harapan saat Mama Rina menjawab”, Gimana caranya? Keadaan ‘kan nggak memungkinkan?” Berarti Mama Rina pun masih membuka pintu kesempatan untukku. Hanya saja memang tak mungkin melakukannya, karena ada orang tua dan adik Mama Rina. Saat itu Papa sedang mengunjungi Mama di kota S. Aku cuma bisa menunduk lesu. Tapi aku tak putus asa. Kucoba sebuah cara, walaupun aku tak yakin ia bersedia.“Mama mau nggak ke tempatku?”, pintaku. Maksudku adalah hotel tempat aku menginap. Mama Rina tak segera menjawab. Ia cuma tersenyum sambil menimang-nimang bayi perempuannya yang tak lain adalah adik tiriku.Di hotel, sepulang dari rumah Mama Rina, kuhabiskan waktu dengan melamun dan berharap Mama Rina datang. Tapi hingga aku ketiduran siang itu, harapan tinggal harapan. Yang kutunggu hadirnya tak kunjung datang sampai aku bangun lagi sore harinya.Wajahku berubah ceria campur berdebar-debar ketika suara pintu kamarku diketok. Waktu itu aku habis mandi dan bersiap turun ke restoran hotel untuk makan malam. Aku nyaris meloncat kegirangan saat kulihat Mama Rina di depan pintu. Spontan kuminta ia masuk ke kamar.Mama Rina bilang ia mau belanja susu untuk bayinya dan minta aku menemaninya. Tentu saja aku bersedia, tapi tak serta merta kami berangkat. Kami bercumbu lebih dulu, menyalurkan birahi yang lama terpendam. Tampaknya Mama Rina pun menyimpan hasrat yang sama. Permainannya lebih hot dari sebelumnya, seolah tak ingin setiap detik terlewati sia-sia.Dari pengalaman itu, hidupku kembali bergairah. Aku yakin telah menemukan cara lain untuk tetap berhubungan dengan Mama Rina. Tapi ternyata dugaanku salah. Tak ada kesempatan yang sama terjadi dua kali. Beberapa kali setelah itu aku rajin mengunjungi Mama Rina di kota B, tapi harapanku untuk bisa menikmati kebersamaan di kamar hotel tak pernah kesampaian.Bukannya Mama Rina menolak, tapi keadaan yang tak memungkinkan. Aku harus menelan kekecewaan demi kekecewaan. Aku kembali terpuruk dalam kesendirian. Celakanya, hal itu mengganggu prestasi belajarku. Beberapa nilai mata kuliahku jeblok. Mama dan kakak-kakakku menegurku atas kemerosotan kuliahku.Dalam kegamangan, aku belajar untuk menerima kenyataan. Sulit memang, tapi dengan niat yang kuat, akhirnya aku bisa menemukan sebuah jawaban. Ya, aku menyadari hikmah dari semua ini. Sejak awal memang sudah kusadari kalau aku tak akan punya peluang untuk memiliki Mama Rina seutuhnya.Mata hatiku dibutakan oleh bayang-bayang kehangatan tubuh Mama Rina. Cinta dan birahi yang berbaur jadi satu bagaikan anggur kenikmatan yang begitu sulit kutepis, hingga pada akhirnya aku tahu kalau itu semua hanya fatamorgana.Dengan susah payah, aku pun berhasil menyelesaikan studiku, meskipun lebih lambat 1 tahun. Dan sesuai janjiku pada Papa, aku bekerja di perusahaannya mulai dari bawah, dengan perlakuan yang sama seperti pegawai lain. Ini Papa maksudkan agar aku memahami hal-hal mendasar sebelum tiba saatnya bagiku memegang kendali perusahaan.Akan halnya Mama Rina, hubungan kami tetap berjalan baik-baik saja, sebagaimana layaknya ibu dan anak.

Suatu malam sekitar jam delapan aku bertemu dengan Hanny sedang membeli makanan di warung depan sana. Ketika penjaga warung mengatakan tidak ada uang kecil untuk kembalian belanjanya, Hanny meminta biarlah kembaliannya dibelikan permen saja. Kulihat ia mengambil permen rasa mint. Ketika pulang dan melewatiku ia mengedipkan sebelah matanya. Di depan perutnya kulihat jari tengah dan ibu jarinya membentuk lingkaran, jari lainnya lurus. Aku mengangguk. Aku tidak jadi beli alat tulis yang rencananya tadi akan kubeli.

Kubiarkan ia berjalan pulang duluan. Kutahan langkahku sambil ngobrol dengan tetangga sebelah lainnya di mulut gang. Setelah berbasa-basi sebentar kemudian akupun pulang. Perlahan-lahan kulewati rumah tetanggaku, kuda binalku itu. Kulihat ia menunggu di pintu pagar depan rumahnya. Ia berbisik dan memberi tanda dengan tangannya agar aku lewat pintu pagar samping dan ke teras belakang.

Kubuka pintu pagar samping rumahnya dan menuju teras belakangnya. Teras belakangnya ini sangat terlindung dari pandangan orang yang lewat di gang. Terlihat gelap karena lampunya dimatikan. Hanny sudah duduk di lantai teras belakang menungguku.

"Say.. Mau ya? Aku sendirian sampai jam sepuluh malam ini" katanya.

Aku hanya diam dan memberi isyarat dengan mukaku. Kuperhatikan lantai terasnya sudah dilapis dengan karpet tebal 2 X 1, 4 m. Hannyku memang luar biasa. Ia selalu cekatan untuk urusan bercinta.

Aku duduk di sampingnya dan ia menggeser duduknya lalu memelukku dari belakang. Saat itu ia mengenakan baju tidur yang tipis sehingga lekuk-lekuk tubuh indahnya jelas membayang meskipun keadaan remang-remang.

Diciumnya tengkukku. Aku menggelinjang. Dadanya dirapatkan di punggungku. Buah dadanya yang padat menekan punggungku. Tangannya memegang tanganku dan meremas-remas jariku. Ia menggigit pundakku yang masih tertutup kaus.

Ada sesuatu yang kupendam dari tadi tapi aku segan untuk mengatakannya. Akhirnya aku bertanya, "Han.. Boleh aku bertanya?".
"Kenapa tidak boleh. Jangankan bertanya. Menggenjotku di ranjangpun kuijinkan", katanya dengan nada sedikit tak senang.
"Apakah kamu juga melakukan dengan pemuda lainnya?" kataku sambil menunduk.

Ia terdiam. Aku merasa serba salah dan menyesal bertanya begitu.

"Kenapa kau tanyakan itu?" katanya berbisik sambil mengetatkan pelukannya di tubuhku.
"Aku dengar biasanya, wanita yang sudah agak berumur sering mencari pemuda untuk melampiaskan nafsunya".
Ia kemudian tertawa kecil. "Maksudmu ini tentang tante girang dan gigolo?"

Aku mengangguk.

Akhirnya kamipun membahas tentang kehidupan antara tante girang dan gigolo. Banyak sekali kutanyakan hal-hal tentang mereka kepadanya dan ia menjawabnya dengan fasih. Aku semakin curiga kalau ia termasuk salah satu tante girang dan kupancing lagi semakin jauh. Justru ia yang bertanya padaku.

"Aku jadi curiga padamu To. Kamu kok kelihatannya tertarik dengan tante-tante?"

Aku jadi kikuk dan salah tingkah.

"Ahh.. Eee .. Ee ng.. enggak kok".
"Dari caramu menjawab saya ragu dengan jawabanmu tadi. Aku memang punya banyak kenalan dan sering berkumpul dengan tante-tante yang sering berkencan gonta-ganti pasangan dengan anak-anak muda. Aku juga sering diajak untuk masuk ke dalam dunianya. Aku tidak mau karena aku sadar bahwa dunia itu tidak cocok untuk keadaanku. Terlalu besar biayanya. Aku tak mampu. Aku juga mau ingatkan padamu, jangan kamu masuk dalam dunia mereka, karena sekali kamu masuk maka kamu akan terjerat dan akan diperbudak mereka. Kamu tidak bisa keluar dari lingkaran itu. Ingat kata-kataku ini. Ini bukan masalah aku bermaksud mengekang atau menguasaimu. Kukatakan ini karena aku tak mau kamu terjerumus".

Aku menarik napas panjang. Tangannya meremas kejantananku. Aku membalikkan tubuhku dan dalam posisi duduk di karpet kami akan mengawali pendakian malam ini. Kulihat sekeliling kami. Gelap karena lampu teras dimatikan dan malam ini bulan akan muncul selewat tengah malam. Hanya ada bintang bertaburan yang terlihat jelas karena cuaca cerah tak berawan. Kurasakan hembusan angin malam, dingin menusuk kulitku.

Kuperhatikan lagi bagian pekarangannya yang ditumbuhi rumput manila. Cukup terlindung oleh rimbunnya daun perdu dari pandangan di jalan. Kubisikkan padanya, "Aku mau bercinta ditemani oleh bintang". Ia belum paham dengan kata-kataku.
"Kamu lihat bagian pekarangan yang ada rumput manilanya? Cukup gelap dan terlindung dari pandangan orang lewat", kataku lagi. Ia kelihatannya mulai mengerti dengan arah pembicaraanku.
"Hmm. Kamu selalu penuh dengan ide gila dan liar. Tapi itu yang kusukai darimu".

Karpet kami gulung dan kami bawa ke atas rerumputan. Kuedarkan pandanganku sekali lagi untuk meyakinkan bahwa kami tidak terlihat oleh orang yang lewat di gang. Kemudian segera karpet kami hamparkan di atas rumput manila. Terasa lebih empuk daripada ketika dihampar di lantai teras.

Kulucuti celana dalamnya terlebih dahulu. Demikian juga ia melepas celana pendek dan celana dalamku. Tanganku mengusap pundaknya yang terbuka. Kucium mesra dan kurasakan tidak ada tali di atas pundaknya. Kupikir dia tidak memakai bra.

Kususupkan tanganku dari bagian bawah gaun tidurnya hendak meremas payudaranya. Ternyata masih ada penutup yang masih menghalangiku. Hanny mengerti pikiranku

"Stripless.. Yang. Buka saja di punggung seperti biasa" bisiknya lemah.

Tanganku ke punggungnya dan sebentar branya sudah kucampakkan ke atas karpet. Kini kami sudah siap untuk mulai mendaki lereng-lereng kenikmatan.

Hanny duduk di sebelahku dan menatapku sejenak. Ia merogoh kantung baju tidurnya dan mengambil sesuatu, merobek lalu tangannya memasukkan sesuatu tadi ke mulutnya. Ia mendekatkan mukanya ke mukaku dan menggerayangi pipi dan telinga dengan mesra. Dari mulutnya tercium aroma mint yang segar. Rupanya ia makan permen. Kucium jemari tangannya dan kukulum telunjuknya. Hanny terus mencumbuku. Kupeluk dan kutarik tubuhnya menindihku. Kakinya membelit kakiku. Tangannya merayap di atas dadaku yang tertutup kaus. Ia membelai-belai dadaku dengan lembut dan penuh perasaan.

Ia menindih tubuhku. Bibirnya mencium bibirku, lidahnya mendorong permen mint tadi ke luar dan menjepit dengan bibirnya. Kujilati bibir dan permen yang ada dimulutnya. Didorongnya permen ke dalam mulutku dan gantian ia yang menjilati bibir dan mulutku. Demikian aku dan dia saling berganti memainkan permen dalam mulut kami sampai akhirnya habis. Napas kami mulai memburu.

Payudara sebelah kanannya kuremas dengan tangan kiriku sementara tangan kiriku memainkanbulu halus di pahanya. Hanny mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit kuat dari luar baju tidurnya.

"Aduhh.. Sakit To.. Ououououhh.. Nghgghh".

Hanny mengusap rambutku dan menjilati lubang telingaku. Aku sudah mulai terangsang. Senjataku mengeras ditindih oleh perutnya.

Bibirnya bergerak ke bawah, ke perut dan terus ke bawah. Digigitnya meriamku yang sudah tegak. Ia mengisap-isap buah zakarku dan menjilatinya sampai ke daerah perbatasan dengan anusku. Aku tidak tahan dengan rasa nikmat yang menjalariku. Kugigit bibir bawahku.

Tiba-tiba meriamku bergerak refleks mengencang memberikan responnya ketika lidah Hanny menjilat kepalanya. Kemudian kuatur gerakannya dengan mengendalikan otot Kegel yang sudah kulatih. Kuangkat kepalaku sedikit, kulihat Hanny dengan asyiknya menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Aku terpekik kecil setiap lidahnya yang merah menjilati lubang meriamku.

Kembali kepalanya ke atas dan bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kudorong lidahku ke dalam mulutnya, menggelitik langit-langit mulutnya. Lidahku kemudian disedotnya dengan kuat. Dia berjongkok di atas pahaku. Tangannya kemudian meremas dan mengocok meriamku. Meriamku semakin kaku dan membatu.

"Ouououaahhkk.. Puaskan dahagaku.. Berikan aku.." ia mendesah.

Tidak lama kemudian kurasakan pantat dan pinggul Hanny bergerak-gerak menggesek meriamku. Dan kemudian.. Blesshh. Kepala meriamku masuk ke dalam gua kenikmatannya. Terasa lembab, hangat namun tidak becek. Kurasakan dinding guanya berdenyut-denyut meremas kemaluanku. Rupanya dia sudah berlatih senam Kegel dan mempraktekkannya saat ini.

"Akhh.. Oukkhh", kami saling merintih pelan.

Kami harus menahan suara kami agar jangan sampai ada orang yang kebetulan lewat di gang mendengarnya. Hanny mendongakkan kepalanya dan kujilati lehernya. Ia terus menggoyangkan pantat dan memainkan otot kemaluannya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan akhirnya semua batang meriamku sudah ditelan oleh guanya.

Pantatnya bergerak naik turun untuk mendapatkan kenikmatan. Kadang gerakannya berubah menjadi maju mundur atau berputar-putar. Sesekali gerakannya menjadi pelan dan kontraksi ototnya dikuatkan mengurut meriamku. Kemudian ia mengangkat pantatnya dan dengan pelan menggesek-gesekkan bibir guanya pada kepala meriamku beberapa kali dan kemudian dengan cepat menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam terhisap dalam putaran pantatnya. Ketika batang meriamku terbenam seluruhnya hingga mendesak dasar rahimnya ia bergetar dan kepalanya semakin mendongak. Napasnya mulai terputus-putus.

Kusingkapkan gaun tidurnya dan kubuka lewat kepalanya. Kini ia telanjang bulat. Kuisap puting buah dadanya yang sudah membatu. Tangannya tidak mau kalah dan tergesa-gesa melepaskan kausku. Gerakannya semakin liar. Tanganku memeluk punggungnya. Badanku seolah-olah seperti menggantung pada badannya. Kuisap payudaranya yang bergoyang-goyang mengikuti gerakannya.

Ia memelukku dan merebahkan tubuhnya ke atas tubuhku. Gantian dia mengeksplorasi area sekitar dadaku sampai dada dan bulu dadaku basah oleh jilatan ludahnya. Kini gerakannya pelan namun bertenaga penuh. Pantatnya naik ke atas sampai meriamku lepas, kemudian ia menurunkan lagi dengan pelan dan kusambut dengan gerakan pantatku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya. Ketika meriamku mentok di rahimnya kami berdiam sebentar dan memainkan otot kemaluan seluruh batang meriamku mulai dari pangkal hingga ke ujung seperti diurut. Mendesak dan didesak dinding area intimnya.

Tangannya meremas dan menjambak rambutku, punggungnya melengkung menahan kenikmatan. Mulutnya merintih dan mengerang agak keras. Kututup mulutnya dengan tanganku.

"Ssstt..!", bisikku, "Jangan sampai nanti kami jadi tontonan orang."
"Anto.. Ouhh Anto, aku mau.., aku mau kelu.. ar"
"Sshh.. Shh.. Akupun.. Ju.. Ggghh"
"Anto sekarang ouhh.. Sekarang" ia area intimik tertahan.

Kubalikkan tubuhnya. Hanny mengejang, kakinya membelit kakiku. Mulutnya mencari-cari bibirku dan kusambut agar ia tidak merintih-rintih. Area intimnya berdenyut kuat sekali dan pantatnya bergerak ke atas menyambut tusukan terakhirku setelah semua otot yang mendukung ketegangan kejantananku kukencangkan dan kutahan. Pantatku bergerak kebawah dengan keras hingga meriamku terasa sakit. Mungkin sampai lecet karena iapun mengencangkan otot area intimnya. Tembakanku memancar deras dan sebagian mengalir keluar ke pahanya. Area intimnya terasa becek, namun sempit. Kupeluk punggungnya dan kuusap dengan kuat dari leher sampai ke pinggangnya.

Tubuhku melemas di atas badannya. Kucabut kejantananku yang sudah mengecil dan berbaring di sampingya. Kukecup lembut bibir dan keningnya. Tubuh kami yang basah oleh keringat terasa segar ketika angin bertiup agak kuat.

"Terima kasih Anto, kuda arabku. Kau sungguh hebat sekali. Aku nggak tahan setiap bercinta denganmu. Tubuhku serasa remuk semua" ia berbisik di telingaku.
"Akhirnya kita nggak jadi Q.. Q, malahan masuk dalam sebuah permainan yang baru", katanya lagi.

Aku diam saja sambil mengelus-elus dan mencium rambutnya. Akhirnya Hanny bangkit setelah napasnya teratur dan menghela napas dalam-dalam. Ia mengenakan kembali gaun tidurnya. Akupun memakai celanaku dan sama-sama masuk ke dalam kamar mandi membersihan tubuh kami dari keringat dan ceceran sperma yang lengket di tubuh kami.

Setelah kembali ke pekarangan, membereskan karpet arena pertempuran tadi, Hanny kelihatan sedang memasak di dapur. Kudekati dan kulihat lima butir ayam kampung di dalam panci. Begitu air mendidih segera ia mengangkat telur ayam tadi, memecahkannya dalam sebuah gelas, menaburi dengan lada dan kecap asin ia mengaduknya. Diminumnya sebagian telur setengah matang tadi dan kemudian sisanya diberikan kepadaku dan segera kuminum sampai tandas. Aku pulang setelah memberikan french kiss yang ganas.

Aku duduk di atas karpet di dalam kamarku merapikan pakaian yang kupakai tadi. Sebuah pengalaman yang baru. Kupikir tadinya kami akan melakukannya dengan cepat, namun kini kami mempunyai sebuah pengalaman baru yang indah. Bercinta di tempat terbuka.

"Wuuiihh, dahsyat man!!", kataku dalam hati.

Paginya kuintip dari jendela, Hanny sedang menyapu. Ia dalam posisi membelakangi kamarku, daster bagian belakangnya sedikit naik karena ia menyapu sambil membungkuk. Kubayangkan sebentar kalau kami bercinta dalam posisi doggie style. Kubuka kaca nako dan aku bersiul. Ia menoleh, meleletkan lidahnya, menggoyangkan pantatnya dan kembali melanjutkan menyapu.

Beberapa hari kemudian Hanny mengajakku berenang di Cisarua. Sebenarnya kalau aku disuruh berenang sendirian ke sana, I.. Hh, sorry saja. Aku bisa kedinginan. Namun karena ada bara yang akan menghangatkanku dengan senang hati kuikuti ajakannya.

Hanya ada beberapa orang yang berenang di sana. Kupikir karena hari ini bukan hari libur atau akhir minggu. Jadi paling-paling hanya orang dari Bogor dan sekitarnya saja yang datang.

Selesai berenang kami tidak langsung pulang namun Hanny mengajakku jalan-jalan di kebun teh. Kami menyusuri jalan setapak, namun kemudian Hanny menyeretku masuk ke dalam kerimbunan rumpun teh agak jauh dari jalan setapak tadi. Yang kelihatan dalam pandangan kami cuma daun dan pohon teh saja. Jalan raya dan jalan setapak sudah tidak kelihatan. Kami berhenti dan tidak lama kedua tangannya menggayut manja di leherku.